Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membunuh Secara Perlahan
Oleh : Opini
Selasa | 27-10-2015 | 10:44 WIB

Oleh: Amril Jambak* 

KABUT asap yang berasal dari pembakaran hutan dan lahan di berbagai daerah, hingga kini belum jua teratasi oleh pemerintah pusat, dan daerah. Entah apalah yang ada di pikiran pemerintah kita, kebakaran hutan dan lahan masih saja terjadi. Dan pelaku, apakah pribadi atau perusahaan, tak jera-jera membakar hutan guna membuka lahan ataupun mengejar kepentingan lain.

Dalam laporan kajian organisasi lingkungan hidup, World Resources Insitute (WRI), emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah melampaui rata-rata emisi karbon harian AS selama 26 hari dari 44 hari sejak awal September.

Catatan tersebut praktis menunjukkan lonjakan signifikan. Pasalnya, selama ini AS merupakan sumber gas rumah kaca kedua setelah Cina. Adapun Indonesia biasanya dikategorikan WRI pada peringkat lima.

“Pembakaran lahan gambut tropis begitu signifikan untuk emisi gas rumah kaca karena area-area ini menyimpan jumlah karbon terbanyak di dunia yang berakumulasi selama ribuan tahun,” sebut WRI, yang menggunakan basis data emisi kebakaran global untuk laporannya, seperti dikutip kantor berita AFP, yang dirilis dari bbc.com.

Secara khusus, WRI menyebut alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sebagai penyebab emisi gas rumah kaca. “Pengeringan dan pembakaran lahan-lahan ini untuk ekspansi pertanian, seperti alih fungsi perkebunan kelapa sawit atau kayu untuk kertas, berujung pada peningkatan besar dalam emisi gas rumah kaca.”

Laporan WRI mengemuka setelah beberapa peneliti menilai kebakaran lahan dan hutan yang melanda Indonesia tahun ini ialah yang terparah sejak 1997 lalu.

Herry Purnomo, peneliti lembaga Center for International Forestry Research (CIFOR), misalnya, berpendapatan kondisi itu disebabkan ketahanan ekosistem Indonesia lebih rentan karena hutan tanaman industri dan sawit.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru dalam informasi resminya mengatakan, saat ini masih terdapat 656 titik panas di Sumatera.

572 hotspot masih terdapat di Sumatera Selatan, 38 titik di Jambi, 31 titik di Riau dan 11 di Bangka Belitung. " Titik panas di Riau hari ini meningkat lagi, terutama di Inhu 15 titik, dan Meranti 12 titik," ujar Kepala BMKG Pekanbaru, Sugarin kepada halloriau.com.

Dari pantauan BMKG, secara umum, jarak pandang di Pekanbaru cuma 100 meter.Kota Rengat 50 meter, Kota Dumai 200 meter, dan Pelalawan 80 meter.

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan sudah dalam kondisi mengkhawatirkan dan merugikan. Tak hanya berdampak buruk bagi lingkungan, kabut asap juga menjadi ancaman serius bagi kesehatan.

Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI Tjandra Yoga Aditama mengatakan, gangguan kesehatan akan lebih mudah terjadi pada orang yang gangguan paru dan jantung, lansia, dan anak-anak.      

Dampak langsung yang akan dirasakan adalah infeksi paru dan saluran napas. Tjandra menjelaskan, kabut asap dapat menyebabkan iritasi lokal pada selaput lendir di hidung, mulut dan tenggorokan. Kemudian juga menyebabkan reaksi alergi, peradangan, hingga infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan yang paling berat menjadi pneumonia.

"Kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi juga berkurang sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi infeksi," jelas Tjandra, seperti dikutip dari kompas.com, baru-baru ini. 

Tjandra menjelaskan, ISPA pun akan lebih mudah terjadi karena ketidakseimbangan daya tahan tubuh, pola bakteri atau virus, ditambah buruknya lingkungan.

Selain infeksi pernapasan, dampak lainnya yaitu, gangguan iritasi pada mata dan kulit akibat kontak langsung dengan asap kebakaran hutan. Mulai dari terasa gatal, mata berair, peradangan, dan infeksi yang memberat. Bagi yang telah memiliki asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik, dan PPOK akan diperburuk jika asap karena asap terhirup ke dalam paru.

Menurut Tjandra, kemampuan kerja paru menjadi berkurang dan menyebabkan orang mudah lelah dan mengalami kesulitan bernapas.

"Berbagai penyakit kronik di berbagai organ tubuh, seperti jantung, hati, ginjal juga dapat saja memburuk. Sebab, dampak tidak langsung kabut asap dapat menurunkan daya tahan tubuh dan juga menimbulkan stres," ungkap Tjandra.

Kemudian, secara tidak langsung asap kebakaran hutan dapat mencemari air bersih. Jika dikonsumsi masyarakat, bisa menganggu saluran cerna. Selain itu, dapat mencemari buah-buahan dan sayur-sayuran. Untuk itu cucilah hingga bersih sebelum dikonsumsi.

Untuk mencegah efek buruk tersebut, Tjandra mengimbau masyarakat yang telah memiliki penyakit kronik dan gangguan pernapasan untuk mengurangi intensitas ke luar ke luar rumah. Selalu gunakan masker yang baik jika berada di luar rumah. Lalu, jangan lupa untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat.

Tapi yang jelas, akibat kabut asap ini sudah banyak korban berjatuhan, mengidap berbagai penyakit yang disebabkan pembakaran hutan dan lahan, hingga merenggut nyawa manusia.

Dilihat dari lamanya kabut asap terjadi saat ini, apakah ini pertanda pemerintah membunuh masyarakat secara perlahan-lahan? Entahlah!

Pastinya kita masih memiliki harapan kepada pemerintah untuk menuntaskan masalah kabut asap yang setiap tahun melanda negara ini, dan meresahkan masyarakat Tanah Air, dan juga negara tetangga.

Sudah saatnya pemerintah tegas terhadap pelaku pembakar hutan dan lahan di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jika ini tidak dilaksanakan, jutaan masyarakat di tiga wilayah Tanah Air tidak memperoleh kenyamanan di negaranya sendiri, meski hal ini sudah diatur dalam Undang-undang negara kita. 

Janganlah jatuhnya korban kabut asap menjadi kado manis bagi pemerintahan Jokowi-JK yang bulan Oktober ini menginjak usia satu tahun. 

*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan