Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Gerindra akan Cari Dalang Pengusul RUU Pengampunan Nasional
Oleh : Surya
Kamis | 08-10-2015 | 19:15 WIB
Abdul-Fikar-Hajar.jpg Honda-Batam
Diskusi Dialektika Demokrasi tentang RUU Pengampunan Nasional dengan pembicara Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (kiri), pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fikar Hajar (tengah) dan Anggota Baleg DPR dari F-PDIP Hendrawan Supratikno (kanan)

BATAMTODAY.COM , Jakarta - Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindera, Desmond Junaidi Mahesa mengaku heran dengan munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan belakangan ini. 

Lantaran tidak jelas asal-usulnya, Desmond mempertanyakan siapa di balik keberadaan RUU yang memberi pengampunan kepada para pengemplang pajak dan para koruptor itu. 

"Siapa yang ada di belakang ini? Siapa dalangnya," tanya Desmond dalam Dialektika Demokrasi di Pressroom DPR di Jakarta, Kamis, (8/10/2015).

Desmond menghimbau semua pihak, termasuk berbagai elemen masyarakat untuk mewaspadai masksud dibalik munculnya RUU Pengampunan itu sendiri. "Ini yang menurut saya harus waspada dan hati-hati, jangan sampai dibodoh-bodohi," katanya. 

Usulan RUU Pengampunan Nasional yang tidak memiliki dasar tersebut, kata Desmod, justru  menimbulkan kecurigaan adanya upaya memberi kelonggaran bahkan pengampunan bagi pelaku-pelaku kejahatan termasuk bidang keuangan di republik ini pada masa lampau.

"Pada dasarnya cukup sederhana, Singapura itu kan antara penduduk, wilayah maupun dunia usahanya, assetnya tidak rasional, ini pertanyaanya itu uang siapa? Apakah RUU Pengampunan adalah skenario untuk mengembalikan uang mereka (penjahat keuangan negara, red) untuk balik ke tanah air?”tandasnya. 

Menurut Desmond, Partai Gerindra dan Komisi III DPR tidak pernah mendengar adanya keluhan dari pemerintah bahwa sedang kesulitan pendanaan, sehingga berencana memberikan pengampunan agar dananya dapat ditarik kembali ke dalam negeri. 

"Waktu akan membuktikan bahwa ini sebenarnya kepentingan siapa? Apakah ini kepentingan Jokowi karena sedang kekurangan biaya. Kenapa ini tiba-tiba kok muncul? Kenapa kok Istana kaget mendengar ini? Ini ada apa dengan DPR hari ini?" tanya Desmond lagi.

Sedangkan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Hendrawan Supraktikno dari FPDIP mengatakan, RUU Pengampunan Nasional itu  telah diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR  diusulkan oleh empat fraksi, yakni fraksi PDIP, PKB, PPP dan Partai Golkar. 

Hendrawan mengungkapkan,  RUU Pengampunan Nasional saat ini sedang di proses di Baleg agar masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2015.

"RUU Pengampunan Nasional ini nantinya akan mengampuni kejahatan hasil korupsi, pelarian modal, pengemplang pajak, uangnya dilaporkan kepada otoroitas keuangan dan otoritas fiskal dan dimasukkan ke Indonesia. Maka nanti diampuni," kata Hendrawan. 

Namun, tak semua dana hasil kejahatan bisa dikenakan pengampunan bila uangnya dikembalikan ke negara. Pengecualian dikenakan kepada dana terkait kejahatan terorisme, human traficking, dan kejahatan narkoba. 

Hendrawan menyatakan, RUU tersebut tak memandang dari mana asal-usul kejahatan uang, karena tujuan utamanya adalah agar uang tersebut bisa kembali ke negara.  

"Ini upaya meniadakan tuntutan pidananya.  Bila nanti uang dari luar negeri bisa didapatkan, maka itu bisa mengurangi desakan untuk berhutang luar negeri.  Kalau tidak diampuni, mereka akan terus bergentayangan di luar negeri," katanya.  

Sementara itu Pakar Hukum Universitas Trisaksi  Abdul Fikar Hajar mempertanyakan kaitan RUU tersebut terhadap konstitusi yang ada saat ini. Jika tidak ada, tentu RUU tersebut tidak layak diproses untuk menjadi undang-undang. 

"Saya kira RUU Pengampunan Nasional  tidak ada cantolannya di konstitusi," kata Fikar. Dia menambahkan, sebelum RUU diajukan seharusnya ada kajian akademisnya terlebih dahulu, bukan langsung diajukan begitu saja. Akibatnya menimbulkan polemik di masyarakat.

"Harus ada suatu penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan, adakah naskah akademik dari RUU itu, jika tidak ada hanya kepentingan pragmatis saja," tandas pakar hukum Universitas Trisakti ini. 

Editor: Surya