Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mekotek Tradisi Unik Desa Munggu, Bali
Oleh : Redaksi
Sabtu | 18-12-2010 | 02:08 WIB

Denpasar, batamtoday.com - Hari raya Kuningan di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali, Sabtu (18/12) tradisi mekotek kembali dilaksanakan dengan tujuan menolak bala. Meski tradisi ini cukup berbahaya dan dapat menimbulkan cedera, namun tetap digelar, setiap 6 bulans ekali.

Tradisi ini cukup berbahaya karena, seperti sebuah perang, seribu lebih warga Desa Munggu yang berasal dari 12 banjar masing-masing membawa sebuah kayu jenis pulet yang panjangnya mencapai 3,5 meter. Para peserta, sebelum menjalani tradisi ini biasanya diperciki terlebih  dahulu dengan tirta atau air suci, untuk mencegah hal-hal yang mungkin dapat membahayakan diri para peserta.

Mekotek sendiri berasal dari kata tek-tek, yang diambil dari bunyi kayu yang beradu satu sama lain.

Usai prosesi pemercikan tirta, perang kayu pun dimulai. Sekelompok warga membuat sebuah gunungan kayu dan pemuda yang bernyali tinggi berdiri di antara tumpukan kayu tersebut. Setelah terbentuk 2 kelompok yang siap dengan gunungan kayunya, mereka kemudian bertabrakan satu sama lain hingga kayu-kayu tersebut jatuh dan terurai.

Tak jarang kejadian-kejadian unik terjadi saat perang kayu ini berlangsung. Mulai dari peserta tercebur ke parit hingga "penunggang" kayu tersangkut di pohon. Hal ini menjadi hiburan tersendiri bagi ribuan warga dan wisatawan yang sangat antusias menyaksikan tradisi ini.

Tokoh masyarakat dan warga setempat meyakini Mekotek sebagai salah satu sarana untuk menolak bala. Dan pernah suatu kali Mekotek tidak dilaksanakan muncul wabah penyakit misterius yang menyebabkan kematian warga secara beruntun.

"Pada tahun 1915, Belanda melarang diadakannya tradisi Mekotek karena takut terjadi pemberontakan, kemudian munculah bencana berupa wabah penyakit yang menewaskan 10 orang setiap harinya," ujar Ketua Kerta Desa Munggu Ida Bagus Gede Mahadewa, di sela-sela kegiatan Mekotek.

Pihak desa kemudian bernegosiasi dengan penjajah Belanda untuk kembali menggelar tradisi Mekotek. Belanda pun akhirnya  mengizinkan warga Desa melakukan kembali tradisi yang digelar 6 bulan sekali ini. Pasca persitiwa tersebut, sampai saat ini tidak ada lagi bencana serupa.