Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Apakah Anda Termasuk Katagori Over Selfie?
Oleh : BBC Indonesia
Sabtu | 19-09-2015 | 08:58 WIB
150916130642_vert_fut_camera_1_640x360_babycakesromero.jpg Honda-Batam
Ilustrasi (Foto : Babycakesromero)

BATAMTODAY.COM, Lowa City - Kita semua pasti pernah melakukannya: mengeluarkan ponsel pintar untuk menjepret foto senja yang sangat indah atau diam-diam memotret hidangan yang sangat mengesankan di sebuah restoran.

Jelas bahwa kita mendokumentasikannya agar kenangan itu abadi, tapi penggunaan kamera ponsel yang berlebihan dan munculnya perangkat baru seperti Narrative Clip - kamera mini yang otomatis mengambil gambar tiap 30 detik - memicu pertanyaan kritis. Seberapa banyak kah terlalu banyak? Apakah kita mengambil terlalu banyak foto?

Jika Anda melihat riset terbaru dari Linda Henkel, seorang profesor psikologi di Universitas Fairfield, Anda mungkin akan menjawab ya. Penelitiannya menyebut bahwa memotret begitu banyak gambar bisa mengganggu kemampuan Anda mengingat detail kejadian itu di masa depan.

Pada riset yang dilakukan tahun 2014, sejumlah pelajar diajak mengikuti tur dan diminta untuk memotret sejumlah karya seni - dan hanya memperhatikan karya seni yang lain. Ketika mereka diuji esok harinya, mereka kurang mengingat detail obyek yang mereka foto. Inilah yang Henkel sebut sebagai "efek negatif memotret".

"Apa yang saya kira terjadi adalah kita cenderung melihat kamera sebagai alat pengingat eksternal," kata Henkel.

“Kita memiliki harapan bahwa kamera akan mengingat sesuatu untuk kita, sehingga kita tidak perlu memproses obyek itu dalam ingatan, dan kita tidak terhubung dengan hal-hal yang membuat kita mengingatnya."

Walau demikian, dia menambahkan meski memotret akan merusak ingatan jangka pendek, melihat foto-foto itu kembali akan sedikit membantu ingatan kita di kemudian hari.

Merekam kehidupan

Tentu saja, kita telah lama memiliki kebutuhan untuk memotret, ketika hampir tiap rumah di Eropa Barat dan Amerika memiliki kamera. Tapi pergeseran dari teknologi film ke digital juga mengubah alasan mengapa kita memotret dan bagaimana kita menggunakannya.

Riset telah mengkonfirmasi apa yang telah diduga selama ini - bahwa peran fotografi bergeser dari mengabadikan acara spesial atau mengenang keluarga menjadi sebuah cara berkomunikasi dengan sesama, membentuk identitas, dan meningkatkan ikatan sosial.

Ketika orang-orang yang lebih tua menggunakan kamera sebagai pengingat, generasi lebih muda cenderung menggunakannya untuk berkomunikasi. “Banyak orang memotret - tidak untuk disimpan sebagai pengingat, tetapi untuk mengatakan inilah yang saya rasakan di sini, saat ini," kata Henkel.

"Lihatlah Snapchat misalnya, orang-orang mengambil foto untuk berkomunikasi, bukan sebagai pengingat."

Kemampuan kita untuk 'mendokumentasikan' memasuki tahap baru dengan adanya SenseCam dari Microsoft, sebuah kamera dengan sudut pandang lebar yang bisa dipakai sehari-hari.

Dianggap sebagai 'kotak hitam' yang mendokumentasikan hidup manusia, alat ini dirilis pada 2003. SenseCam bisa secara pasif memotret ketika sensornya mendeteksi ada orang di depan kamera atau ada perubahan cahaya signifikan. Alat ini juga bisa diset untuk merekam gambar tiap 30 detik.

Kini, semakin banyak orang merekam hidupnya - dikenal dengan istilah life logging - dengan alat-alat semacam itu.

Meningkatkan memori 

Kamera digital mungkin tidak hanya mengubah cara kita memotret, tetapi mungkin mengubah cara kita mengingat pengalaman yang kita potret. Berterimakasihlah kepada media sosial.

"Kita tahu ingatan adalah rekonstruktif. Ini sangat memungkinkan bahwa kita menyusun ulang ingatan kita agar selaras dengan foto-foto yang kita, atau dengan foto yang orang lain ambil dan ditunjukan pada kita," kata Kimberley Wade, profesor psikologi dari University of Warwick yang mempelajari tentang ingatan palsu.

Editor: Dardani