Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Diminta Bangun Kekuatan Udara di Tanjungpinang
Oleh : Redaksi
Selasa | 08-09-2015 | 11:17 WIB
2015-09-08 14.01.43.jpg Honda-Batam
Komandan Lanud Tanjungpinang Letkol Pnb I Ketut Wahyu Wijaya

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Komandan Lanud Tanjungpinang Letkol Pnb I Ketut Wahyu Wijaya berharap pemerintah membuat kekuatan pertahanan udara di wilayah Tanjungpinang guna menjaga kedaulatan NKRI dari ancaman dari negara tetangga seperti Singapura.


Pembuatan kekuatan pertahanan udara di Tanjungpinang juga bisa mengantisipasi Singapura yang sering berrlatih dengan pesawat tempur F-5 dan F-16 di wilayah udara Indonesia.

"Singapura akan lari  saat melihat ada kekuatan militer Indonesia. Untuk itu kekuatan pertahanan udara di wilayah Tanjungpinang dirasa perlu untuk membuat takut Singapura," kata Letkol Pnb I Ketut Wahyu Wijaya, Komandan Lanud Tanjungpinang seperti dilansir laman detik.com.

Menurut Ketut, saat ini di Tanjungpinang tidak ada kekuatan pertahanan udara TNI AU, yang ada di Pekanbaru dan Pontianak. Sehingga ketika terjadi pelanggaran wilayah udara di Bintan oleh Singapura beberapa waktu lalu, maka untuk mendatangkan kekuatan militer dari Pekanbaru dan Pontianak ke Bintan jaraknya jauh sekali. Sehingga Singapura latihan militer setiap hari di wilayah Indonesia, karena tidak ada ancaman dari militer Indonesia.

"Kebetulan di Pulau Kepri tidak ada kekuatan udara, adanya di Pekanbaru dan Pontianak. Jaraknya ke Bintan jauh sekali. Makanya setiap hari latihan di sana. Begitu ada kekuatan kita hadir mereka tidak kembali. Makanya harus ada kekuatan di Kepri, harus ada minimal 4 pesawat tempur," ucapnya.

Untuk penempatan pesawat tempur sendiri juga masih terkendala dengan Lanud di wilayah tersebut yaitu di Tanjungpinang dan Natuna yang masih memiliki banyak keterbatasan. Padahal ini berkaitan dengan wilayah perbatasan dan menyangkut kedaulatan RI. Tipe Lanud kelas C di Kepri selayaknya ditingkatkan menjadi kelas B.

"Landasan hanya pendek, apron kecil, itu untuk 1 heli SAR, 1 hercules untuk angkutan dan 1 Boeing pengintai aja sudah penuh. Belum lagi ada airlines juga, jadi penuh. Makanya di Tanjungpinang sering terjadi delay," ujar Ketut.

Pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh Singapura, dengan seringnya melakukan latihan pesawat tempurnya di ruang udara yang berada di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, sebenarnya berkaitan dengan perjanjian antara Indonesia dan Singapura tentang Military Training Areas (MTA). MTA merupakan wilayah udara Indonesia yang diperkenankan untuk latihan udara Singapura karena mereka tidak memiliki wilayah udara untuk latihan.

Perjanjian tersebut, kata Ketut, diatur dalam agreement between the goverment of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on Military Training in Areas 1 and 2. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat yang kala itu menjabat sebagai Menhankam dan Menhan Singapura saat itu Tony Tan. Kemudian perjanjian tersebut disahkan melalui Keppres No.8/1996.

"Itu mengatur soal MTA 1 yang ada di atas Sumatera dan MTA 2 di utara Pulau Bintan. Tapi perjanjian itu sudah habis pada 2001 karena waktunya hanya 5 tahun. Mereka nggak punya ruang udara untuk latihan akhirnya sign perjanjian itu," kata Ketut.

Selama bertahun-tahun, Singapura Airforce mengadakan latihan tempur pesawat udaranya di wilayah Indonesia dan bahkan hingga perjanjian habis, Singapura masih tetap melakukannya. Wilayah MTA 1 ini dipatok dari sebelah barat daya Singapura hingga Tanjung Pinang, Kepri, termasuk di utara Pulau Bintan.

Sementara MTA 2 yang berada di sebelah barat, membentang dari sisi timur Singapura hingga Kepulauan Natuna. Untuk wilayah yang berada dalam yuridiksi kepemimpinan Ketut adalah di MTA 1. Dari perjanjian sebenarnya Singapura juga memberikan timbal balik untuk Indonesia.

"Tapi dalam 5 tahun (perjanjian) berjalan lebih banyak merugikan Indonesia. Sehingga tahun 2001 tidak diperpanjang. Setelahnya Singapura terus berusaha untuk memperpanjang perjanjian," jelas Ketut.

"Mereka beralasan 'MTA itu danger area jadi harus dioperasikan oleh saya, Singapura Airforce'. Makanya setiap hari mereka latihan di sana sampai hari ini," sambungnya.

Dengan kondisi seperti itu, pesawat-pesawat tidak ada yang boleh melintas di MTA. Termasuk pesawat tempur milik TNI AU. Singapura terus mengejar sehingga perjanjian lanjutan sempat digagas sehingga pada sekitar 2007 muncul draft mengenai perpanjangan perjanjian yang dikenal dengan Defence Cooperation Agreement (DCA).

Dalam DCA selain mengatur MTA, ada perjanjian yang memberikan hak bagi Indonesia untuk melakukan ekstradisi. Ini terkait dengan pemulangan penjahat seperti koruptor Indonesia yang lari ke Singapura termasuk pengembalian aset. Namun karena diyakini Singapura tak akan pernah mengekstradisi koruptor dan dana yang dilarikan ke Singapura, perjanjian itu tidak pernah terwujud.

"Draft perjanjian itu lebih banyak menguntungkan mereka dan itu tidak berlaku karena tidak jadi. Tapi mereka masih tetap saja latihan di wilayah udara kita," tutur Ketut.

Editor: Surya