Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR RI Sebut Parpol Gagal Lahirkan Pemimpin yang Kuat untuk Daerah
Oleh : Surya
Selasa | 08-09-2015 | 08:49 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menegaskan, partai politik (parpol) telah gagal melakukan kaderisasi dalam pencalonan kepala daerah yang maju dalam Pilkada serentak pada 9 Desember 2015.


Sehingga calon yang diusung bukan kader terbaik, melainkan calon yang memiliki modal logistik yang besar karena parpol mewajibkan adanya 'mahar politik'.

Hal itu disampaikan Muhammad Asri Anas, Sekretaris Kelompok DPD RI di MPR dalam diskusi 'Etika Politik Pilkada Serentak' di Jakarta, Senin (7/9/2015).

“Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi ternyata masih gagal melahirkan kader yang terbaik, sehingga memilih calon lain yang memiliki uang. Bahkan untuk menggolkan bakal calon kepala daerah, dilakukan dengan voting dan ini diperkuat oleh KPU. Padahal, itu masalah administrasi, maka dalam Pilkada serentak ini harus membenahi parpol dan KPU terlebih dahulu. Kalau tidak, hasil pilkada serentak dikhawatirkan amburadul," kata Asri Anas.

Menurut Asri Anas, malah ada Ketua DPD partai, gagal menjadi calon kepala daerah, meski yang bersangkutan  telah memenangkan dalam Pemilu 2014. 

“Anehnya banyak diantara mereka yang juga dimintai uang oleh partainya sendiri dan jika tidak sanggup, maka yang diusung adalah orang lain yang bukan kader, karena mempunyai uang,” ujarnya.

Narasumber lainnya, Siti Zuhro, pengamat politik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), meminta agar pelaksanaan pilkada harus dievaluasi supaya memberikan korelasi positif terhadap meningkatnya daya saing daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Kalau itu dilakukan sangat positif bagi Pilkada serentak 9 Desember 2015 mendatang dengan mengdepankan etika berpolitik. Bukan perilaku yang distortif, karena hal ini menjadi pertaruhan integritas bagi parpol, KPU, Bawaslu, stackholder, civil society, masyarakat dan penegak hukum,” ungkapnya.

Siti Zuhro mengakui sedih, jika dalam pilkada ini rakyat hanya cukup dengan dibayar Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu plus berbagai kebutuhan pokok seperti selama pemilu 2014 lalu agar memilih calon tertentu.

"Itu jelas sebagai perbudakan dan pelecehan politik rakyat. Ditambah lagi dengan ‘mahar’ dan politik uang parpol, dan kalau ini dibiarkan, maka akan terjadi pembusukan dari dalam. Parpol oportunis, melanggengkan dinasti, dan napi, lalu apa yang bisa diharapkan? katanya.

Kendati begitu Siti Zuhro mengatakan, proses demokrasi itu membutuhkan waktu yang panjang, sehingga semua pihak harus bersabar, menunggu sampai parpol benar-benar siap menjalankan demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang kuat.

Editor: Surya