Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

BLH Karimun Disinyalir Terima 'Upeti' dari PLTU Tanjung Sebatak
Oleh : Khoiruddin Nasution
Sabtu | 15-08-2015 | 11:58 WIB
limbah-sisa-batubara.jpg Honda-Batam
Limbah dari sisa pembakaran batu bara dari PLTU yang ditimbun di Tanjung Sebatak Kecamatan Tebing.

BATAMTODAY.COM, Karimun - LSM Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup (AMPUH) menuding Badan Lingkungan Hidup (BLH) Karimun menerima 'upeti' dari Manajemen Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Sebatak, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun.

Pasalnya, perusahaan BUMN yang menghasilkan limbah B3 itu telah menimbun ribuan ton limbahnya sejak 3 Januari 2014 lalu di Tempat Penampungan Sementara (TPS) miliknya. Hanya saja, BLH Karimun selaku pengawas lingkungan hanya memberikan imbauan agar sebelum 3 Januari 2015 limbah B3 tersebut sudah harus diangkat.

"Seharusnya BLH Karimun sudah melaporkan kasus penimbunan itu ke pihak kepolisian. Tapi nyatanya, sampai saat ini BLH Karimun masih melakukan pembiaran dan malah menutup mata terhadap proses pengangkutan limbah B3 yang belum juga berjalan. Ada apa ini?" tegas Ketua DPD Kepri LSM AMPUH, Nisel Simanjuntak, pertelepon kepada BATAMTODAY.COM, Sabtu (15/8/2015).

Nisel menilai, Kepala BLH Karimun tidak memiliki integritas dan pemahaman sebagai pimpinan SKPD yang membidangi lingkungan hidup di Kabupaten Karimun. Sehingga, persoalan lingkungan hidup, kerap dikesampingkan, dengan dalih memberi kebebasan berinvestasi kepada pengusaha yang menanamkan modalnya di Kabupaten Karimun.

Padahal, tanggungjawab korporasi maupun perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat berbentuk pertanggungjawaban pidana, perdata dan administrasi. Pertanggungjawaban ini dapat dimintakan karena korporasi paling banyak berperan dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup yang dapat mengakibatkan dampak terhadap lingkungan hidup,

"Setiap perusahaan wajib melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup dengan melakukan audit lingkungan dan memperbaiki serta melengkapi izin dalam membangun, pengelolaan, serta menjalankan kegiatan operasioal dengan memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan/atau UKL-UPL," katanya.

Kemudian, diperlukan sebuah standar operasional prosedur dalam penerapan sanksi perdata khususnya mengenai pemberian ganti rugi terhadap korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi.

Ketentuan pidana sesuai UU No 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup bagi perusahaan yang nakal katanya lagi, sangat jelas. Pada Pasal 102 UUPPLH disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pengelolaanlimbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Kemudian pada pasal 103 UUPPLH juga disebutkan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Bahkan, pada pasal 119 UUPPLH juga ditegaskan bahwa selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. Perbaikan akibat tindak pidana;
d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Sebelumnya, Deputi V Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, Sudariyono mengatakan, perusahaan yang sengaja melakukan penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) bisa dipidana karena telah merusak lingkungan hidup dan mengancam kelangsungan hidup di sekitarnya.
 
"Harus dibuktikan dulu seperti apa dugaan penimbunan limbah itu. Kalau memang terbukti, ya sanksinya bisa pidana. Namun, sanksi itu harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan. Sanksi itu ada tiga, mulai dari sanksi administrasi, perdata dan pidana," kata Sudariyono, Senin (15/4/2013) lalu.

Menurut dia, sanksi yang diberikan terhadap perusahaan yang telah melakukan kerusakan lingkungan sama, baik itu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan lokal dan asing. Penegasan itu diatur berdasarkan UU no 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. 

Dikatakan Sudariyono, jika ditemukan adanya dugaan perusahaan melakukan kerusakan lingkungan, maka  masyarakat di sekitar perusahaan bisa langsung melakukan pengaduan kepada Bupati Karimun ataupun Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karimun. Setelah itu, bisa langsung melakukan gugatan.

"Hak gugat itu ada tiga, hak gugat pemerintah, masyarakat dan LSM. Sengketa tidak hanya yang sudah berdampak, namun jika berpotensi berdampak pun masyarakat perorangan bisa melakukan gugatan. Jika ini wilayah  Karimun, maka gugatan bisa kepada Bupati Karimun atau melalui Kepala Badan Lingkungan Hidup. Masyarakat bisa sampaikan fakta-faktanya," kata Sudariyono.

Setelah adanya pengaduan itu, kata dia, maka pemerintah wajib melakukan verifikasi terkait pengaduan yang disampaikan masyarakat ataupun LSM yang melakukan gugatan itu. Dari hasil verifikasi itu akan terlihat, apakah pengaduan itu benar atau tidak. 

Bisa saja, lanjut Sudariyono, ketika masyarakat melihat sepintas lalu memunculnya masalah itu ke permukaan, maka akan terlihat jelas ketika Bupati atau Badan Lingkungan Hidup melakukan verifikasi itu. 

"Kalau itu terbukti, ya maka akan dikenai sanksi," tukasnya.  

Sementara Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Karimun, H.Amjon beberapa waktu lalu mengatakan, limbah dari sisa pembakaran dari PLTU yang berlokasi di Tanjung Sebatak Kecamatan Tebing bakal segera diangkat dan saat ini telah dilakukan proses tender.

"Pihak PLTU Karimun dan PLN Cabang Tanjungpinang telah ketemu dengan kita. Memang untuk mengangkut limbah PLTU itu juga kan perlu kesepakatan dari pihak Cabang PLN di Tanjungpinang. Makanya mereka (PLTU) ini tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya wewenang" kata Amjon

Jadi, BLH Karimun minta agar menjelang limbah B3 itu  diangkat, semua hasil sisa batu bara yang sudah terpakai harus dimasukkan dalam cover bag dan dibuat semacam water shower, jadi kondisinya akan tetap lembab, sehingga saat angin kencang tidak akan berterbangan," jelasnya.  

Menurutnya, setelah mengecek dokumen yang mereka miliki, bahwa serah terima dari kontraktor kepada pihak PLTU di Karimun tertanggal 3 Juli 2014 dan mulai aktif beroperasi. Maka dari itu masa penyimpanan limbah batu bara tidak sama dengan masa penyimpanan oli bekas.

"Untuk oli bekas batas maksimal 90 hari harus diangkat, sedangkan limbah  batu bara 365 hari dan itu pun berdasarkan dengan undang-undang 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), diperkuat dengan PP 27 tahun 2014 tentang pengelolaan barang milik negara atau daerah," tuturnya lagi.

Dikatakan, jadi melihat penyerahan kontrak itu, artinya BLH memberikan deadline sebelum 3 Juli 2015 limbah harus sudah diangkat, itu sudah disepakati oleh PLN Cabang Tanjungpinan dan sekarang sudah dalam proses tender.

Editor: Dodo