Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Seri Reshuffle Kabinet-6

Ayo Pak Presiden, Tunggu Apa Lagi!
Oleh : Opini
Rabu | 05-08-2015 | 15:15 WIB

Oleh Edy Mulyadi )"

"The ups and downs of the rupiah are normal. It will not have a big impact," chief economics minister Sofyan Djalil told reporters. Begitu ucapan Menko Perekonomian Sofyan Djalil sebagaimana dikutip wartawan media Singapura, The Star On line (TSOL), pekan silam (23/7/205).


Pernyataan itu disampaikannya saat diminta komentarnya atas tren nilai tukar rupiah yang terus terjun. Saat berita diturunkan, rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia, jatuh 0,2% di titik Rp13.395.

Kalau perkara rupiah naik-turun atas mata uang lainnya, itu memang lumrah. Mereka yang ‘makan sekolahan’ juga tahu. Yang saya tidak paham, bagaimana mungkin seorang Menteri Koordinator Perekonomian bisa membuat pernayataan terjunnya rupiah ke titik terendah sepanjang 17 tahun, tidak membawa dampak besar bagi perekonomian nasional.

Pernyataan pejabat tinggi seperti ini sekali lagi membuktikan, bahwa para pembantu Presiden tidak memahami bidang tugasnya. Mereka cenderung asbun, alias asal bunyi. Anak kuliah ekonomi semester awal pun pasti paham, bahwa rontoknya rupiah, apalagi sampai tingkat ekstrim seperti itu, pasti berdampak besar bagi perekonomian.

Mungkin pak menteri akan berkata, dolar naik kan justru menguntungkan eksportir kita. Betul itu. Tapi apakah pak menteri tahu, bahwa sebagian besar industri kita masih mengandalkan bahan baku impor. Itu artinya mereka harus membayar lebih mahal karena rupiah nyang lunglai. Lebih celaka lagi, konusmen produk mereka justru mengandalkan pasar lokal. Itu sama saja dengan sudah jatuh tertimpa tangga.

Tentu, ada saja pihak-pihak yang diuntungkan dengan melemahnya rupiah. Mereka ini antara lain para eksportir komoditas primer, baik hasil perkebunan maupun pertambangan. Tapi, khusus pertambangan, kita juga tahu sektor ini menggunakan peralatan, dan sebagian di antaranya, berteknologi tinggi. Sudah pasti peralatan dan teknologi tinggi itu rakus dengan dolar. Artnya, mereka harus rela membagi kenikmatan tingginya dolar dengan berbagai  biaya berunsur dolar yang juga mahal. Lagi pula, harga komoditas primer di pasar internasional sejak beberapa tahun silam sudah terjungkal sekitar 30-40%.

Itu dari sisi mikro. Bagaimana dengan makronya? Jangan lupa, Indonesia punya utang luar negeri superbengkak. Data Bank Indonesia menyebutkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai Mei 2015 tercatat US$302,3 miliar. Jumlah itu terdiri atas utang luar negeri sektor publik US$133,5 miliar (44,2%) dan sektor swasta US$168,7 miliar (55,8%).

Jumlah ULN ini bukan main-main. Berdasarkan kurs tengah BI kemarin (27/7) yang Rp13.453, maka utang itu setara dengan Rp4.066 triliun lebih. Jelas ini utang dalam jumlah superjumbo. Dan, saya kira, sebagai Menko Perekonomian, Sofyan Djalil tahu persis apa dampaknya angka-angka itu terhadap APBN kita. Anggaran tidak mampu jadi stimulus karena habis tersedot untuk membayar utang dan berbaga biaya rutin lainnya.  Mengerikan!

Bahkan, walau bukan datang dari kalangan pengusaha, dia juga (harusnya) amat paham makna melejitnya dolar bagi perusahaan swasta yang menjaring dana berdenominasi dolar yang akrab disapa Greenback. Kalau peta industri yang begitu basic saja pak menteri tidak tahu, bagaimana mungkin kita berharap dia mampu menyelesaikan berbagai problem ekonomi bangsa yang lebih besar lagi?

Apa boleh buat, cuma KW-3
Pelajaran apa yang  bisa kita ambil dari pernyataan-pernyataan Sofyan dan yang sejenisnya dari para pejabat publik kita? Saya sulit memilih diksi yang agak disopan-sopankan, selain mengatakan mereka memang tidak mengerti persoalan. Padahal, problem yang dihadapi negeri ini, khususnya di bidang ekonomi, teramat berat.

Celakanya lagi, justru kapasitas dan kapabilitas di bawah banderol yang tengah dipertontonkan dengan sangat telanjang oleh para menteri di jajaran ekonomi. Tidak mengherankan bila seorang jenderal purnawirawan yang juga petinggi Parpol menyebut para menteri itu sebagai KW-3. Anda paham maknanya, kan?

Buat sebagian besar rakyat, ekonomi menjadi hal teramat penting. Rakyat (nyaris) tidak peduli dengan adu otot dan adu licik di ranah politik. Apa yang dipertontonkan para elit tidak lebih dari pamer keculasan dan khianat. Faktanya, dengan tanpa malu mereka cuma sibuk beseteru sambil asyik menggembungkan pundi-pundi sendiri. Rakyat? Silakan berjibaku dan termehek-mehek mengatasi segala beratnya beban hidup.

Para pejabat publik kita ramai-ramai dihinggapi penyakit autis. Mereka sibuk dengan diri atau kelompoknya sendiri. Soal rakyat makin terjepit naiknya berbagai harga barang, bukan urusan saya. Soal para pedagang di Tanah Abang, Cipulir, dan tempat lainnya menjerit karena  omset terjungkal hingga 90%, emang gue pikirin! Soal pengusaha mengeluh berbisnis makin sulit, dagangan makin sepi, pengunjung cuma numpang ngadem dan berinternet dengan wifi gratisan di mall-mall, ya rapopo.


Pada titik ini, kita sangat berharap presiden Jokowi segera bertindak. Sebagai presiden, dia harus menyelamatkan Indonesia. Kali ini dia harus menggunakan hak prerogatifnya secara penuh. Jangan terpengaruh, apalagi merasa terintimidasi oleh maneuver parpol-parpol di sekelilingnya.

Lakukan reshuffle kabinet. Rombak tim ekonomi. Ganti dan isi dengan orang-orang yang berkompeten. Mereka harus paham masalah dan tahu solusi yang dibutuhkan. Hanya mereka yang punya kapasitas, kapabilitas, dan integritas dengan rekam jejak teruji yang boleh memangku jabatan amat penting ini.

Satu lagi yang tidak kalah penting, para pengganti itu harus membuang jauh-jauh mazhab neolib yang selama puluhan tahun diterapkan dan terbukti gagal. Para pengganti itu harus meninggalkan tradisi mengutang, menjual BUMN, dan menaikkan harga-harga manakala kepepet seperti yang selama ini jadi habit mereka. Para pembantu Presiden nantinya haruslah orang-orang yang kreatif, getol mencari dan melahirkan kebijakan terobosan yang cepat dan tepat. Mereka itu haruslah para penganut dan pejuang ekonomi konstitusi, yang berpihak kepada kepentingan nasional, kepada sebagian besar rakyat Indonesia.

Kalau saja Jokowi mau membuka mata hatinya, niscaya dia masih bisa menemukan orang-orang yang memenuhi kriteria itu. Orang-orang yang setia dengan kepentingan rakyat. Merekalah yang rekam jejaknya terbukti secara terus-menerus dan konsisten memperjuangkan ekonomi konstitusi.

Jika memang Jokowi yakin dengan Trisakti dan Nawacita yang menjadi jualannya sepanjang kampanye Capres, maka kepada orang-orang seperti inilah dia boleh menggantungkan harapannya. Ayo pak Presiden, tunggu apa lagi…? (*)

Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)*