Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mantan Narapidana Boleh Mencalonkan Diri di Pilkada Serentak
Oleh : Redaksi
Jum'at | 10-07-2015 | 14:33 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mantan narapidana boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah dalam pilkada serentak pada 9 Desember 2015 mendatang.


MK dalam putusannya menganulir Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang memuat ketentuan larangan bagi mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri pada pilkada. 

Menurut Mahkamah ada perbedaan antara norma pada Pasal 7 huruf g dengan penjelasannya. “Menurut Mahkamah ketentuan tersebut bentuk pengurangan hak atas seseorang. Pencabutan hak pilih seseorang ditetapkan oleh hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-undang tidak boleh mencabut hak pilih seseorang,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membacakan keterangan majelis dalam agenda sidang putusan MK, di Jakarta, Kamis (9/7/2015).

Mahkamah mengganggap apabila undang-undang membatasi hak narapidana untuk tidak bisa mencalonkan kepala daerah sama saja telah memberikan hukuman tambahan pada yang bersangkutan. Sedangkan Undang-undang Dasar 1945 melarang perlakuan diskriminasi kepada warganya.

Pemohon mengganggap adanya aturan dalam Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Nomor 8 Tahun 2015 telah menghilangkan haknya. Permohonan pengujian ini diajukan oleh Jumanto yang ingin mencalonkan diri sebagai Bupati Purbalinggo dan Fathor Rasyid berniat menjadi Bupati di Kabupaten Situbondo. Keduanya merupakan mantan narapidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun.

Pasal 7 huruf g UU Pilkada menyebutkan warga negara Indonesia bisa mengajukan diri sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah jika memenuhi syarat… (g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 tahun penjara.

Dari sembilan majelis yang diketuai Arief Hidayat, tiga hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka adalah I Gede Dewa Palguna, Maria Farida, dan Suhartoyo. Hakim anggota lainnya, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Manahan Sitompul, Wahiduddin Adams, Aswanto, setuju menganulir Pasal 7 huruf g. 

MK pernah memutus aturan serupa pada putusan MK Nomor 011-017/PUU-1/2003 yang menyatakan pembatasan hak pilih diperbolehkan apabila hak pilih dicabut berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Selain itu putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tertanggal 24 Maret 2009 MK menyatakan putusan inkonstitusional bersyarat Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam putusan terdahulu, majelis menyatakan ketentuan pasal a qou inkonstitusional apabila tidak memenuhi empat syarat, yakni pertama tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, mantan terpidana harus secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, terakhir dirinya bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Putusan ini tidak dijadikan oleh pembentuk undang-undang sebagai bahan rujukan.

"Pasal 7 huruf g UU Pilkada tidak bisa ditafsirkan lain selain sesuai dengan putusan mahkamah terdahulu, sehingga syarat tidak pernah dipidana tetap dimaknai sesuai dengan putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 ” ujar Maria Farida Indrati.

Editor: Surya