Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Berharap RUU RTRI Kawal Pancasila dan NKRI
Oleh : Surya
Rabu | 17-06-2015 | 08:15 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - DPR RI melalui RUU Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) berharap kedua penyiaran publik tersebut kuat, mandiri, mampu mengawal Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, serta akan menjadi referensi nasional seperti NHK Jepang, ABC Australia, BBC Inggris dan negara maju lainnya. 


Karena itu, pemerintah harus mendukung dengan anggaran yang memadai agar orientasi RRI dan TVRI tersebut benar-benar terwujud sebagai penyiaran nasional yang menjadi kebanggaan bangsa.  

“Jadi, untuk efeketifitas dan efisiensi RRI dan TVRI sebaiknya digabung menjadi satu penyiaran publik nasional dengan dikelola secara professional dan diback up oleh dana yang memadai dan tanpa iklan, karena RRI dan TVRI ini bertujuan untuk mengawal persatuan dan kesatuan bangsa serta NKRI. Bukan untuk mencari keuntungan, provit,” tegas anggota Komisi I DPR RI FPKS Gamari Sutrisno dalam forum legislasi ‘RUU RTRI’ bersama anggota Komisi I DPR RI Fraksi Hanura Arif Suditomo, Direktur LPP RRI Niken Widiastuti dan Ketua Kompetensi PWI Pusat Kamsul Hasan di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (16/6).

Karena itu DPR RI mendorong setelah RUU RTRI ini disahkan, pemerintah sungguh-sungguh menyiapkan anggaran yang cukup, agar RRI dan TVRI mampu memproduksi acara-acara yang diminati masyarakat dan konsentrasi pada informasi, edukasi dan bukan saja hiburan. 

"Seperti penghargaan Panasonic Award, apa ada unsur untuk kepentingan bangsa dan negara? Maka, dengan RUU ini untuk memastikan kelembagaan agar jelas seperti BUMN atau Persero,” ujarnya.

Selama ini kata Gamari, RRI dan TVRI di bawah Kemenkeu RI dan Kemenkominfo RI, ini ke depan harus dirubah agar RRI dan TVRI mengelola keuangan dan sumber daya manusia (SDM) sendiri. 

“DPR sangat peduli untuk revitalisasi dan reformasi ini, apalagi banyak stasiun TVRI yang ambruk,” tambahnya.

Selain itu, dalam menghadapi serangan media asing, tergantung keberanian kepada pemerintah dalam merubah kebijakan untuk tidak terbuka kepada media asing. Jika China kata Gamari, berani karena mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga tidak membuka akses kepada media asing tersebut. 

Hanya saja RUU ini tidak akan selesai pada masa sidang 2015 ini, karena memprioritaskan RUU Penyiaran dan RUU Telekomunikasi sebagai inisiatif pemerintah. “RUU RTRI ini akan tuntas pada tahun 2016,” pungkasnya.

Arif Suditomo menilai selama ini media melihat dan menjadikan rakyat sebagai konsumen dan bukan sebagai warga negara, sehingga merugikan bangsa ini. 

“Itulah yang akan kita perjuangkan agar RRI dan TVRI menjadi referensi informasi nasional. Sehingga untuk mencari informasi penting negara, bukan melalui TV swasta. Seperti BBC, di mana rakyat Inggris bangga dan rela membayar cukup mahal demi kemajuan BBC itu sendiri. Bahkan keluarga kerajaan mendahulukan BBC dibanding TV yang lain untuk hanya menggelar konferensi pers,” ungkapnya.

Selama ini diakui Arif Suditomo, terjadi ketidakseimbangan antara TVRI dan TV swasta, sehingga TVRU tidak menjadi TV public yang kuat. Karena itu dibutuhkan gerakan sosial dan gerakan politik agar TVRI menjadi penyiaran publik yang kuat dan menjadi referensi nasional.

Untuk RRI sendiri kata Niken, sudah memiliki 88 stasiun siaran di seluruh Indonesia dan sejak awal bertujuan untuk mengawal NKRI. Bahkan sudah kerjasama dengan negara lain yang di negara tersebut terdapat WNI. Baik yang menjadi pelajar, TKI, Ikatan Ilmuwan Indonesia di luar negeri dan lain-lain. Seperti di Malaysia, Jepang, Hongkong, Australia, Mesir, New York dan lain-lain.

“Sesuai UU No.32/2012, RRI sudah merefleksikan keberagaman secara proporsional seperti halnya NHK Jepang. Hanya saja sebagai radio yang mencerminkan jatidiri bangsa, membutuhkan infrastruktur dan anggaran yang luar biasa. Jadi, dengan RUU ini, kami harapkan kelembagaannya akan lebih kuat dan mandiri, meski RRI dan TVRI itu tidak seperti BUMN. Namun, RRI tidak bekerjasama dengan penyiaran asing kalau tidak ada timbal-baliknya dengan kepentingan Indonesia,” tutur Niken.

Menurut Kamsul terjadinya ketidakseimbangan antara TVRI dan RRI dengan TV swasta tersebut akibat tidak adanya penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh TV swasta belakangan ini. 

“Banyak kasus pelanggaran, tapi yang ditindak hanya pemegang izin siaran, bukan artis, aktor, penghibur dan sebagainya karena mereka ini tidak menjadi obyek hukum dalam UU Penyiaran. KPI pun sebatas memberi peringatan I,II dan III serta pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Sanksi Rp 10 M untuk TV dan Rp 1 M untuk radio,” jelasnya,

Demikian pula tentang dana asing di media swasta, kata Kamsul, dana asing dibatasi sampai 20 % dan dimiliki dua orang, sehingga tidak akan menjadi pengendali media. 

“Pemodal asing baru bisa mampu menjadi pengendali jika sampai 51 %,” tambahnya. 

Namun kata Arif Suditomo, pihaknya belum khawatir dengan modal asing tersebut, karena asing belum melihat media akan menguntungkan.

Editor : Surya