Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR akan Bahas Revisi UU Pilkada di Istana Negara Bersama Jokowi dan Jajarannya
Oleh : Surya
Sabtu | 16-05-2015 | 09:03 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Khawatir akan menimbulkan kekecauan atau kegaduhan politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada Desember 2015 di 269 daerah, yang tahapannya sudah dimulai, maka  Pimpinan DPR dan Presiden Jokowi akan membahas revisi terbatas UU Pilkada pada Senin (18/5/2015) mendatang di Istana Negara. Pertemuan ini antara lain akan dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menko Pulhukam.

Sebab, jika Golkar dan PPP terancam tidak ikut Pilkada, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kegaduhan politik dan konflik horizontal yang bisa saja tidak dapat dihindari. Hal ini tentu saja akan mengganggu stabilitas nasional sekaligus mengganggu pertumbuhan ekonomi, maka sebaiknya sebelum Pilkada serentak, segala aturan main yang diperlukan harus dituntaskan terlebih dahulu.

“Kita sepakat akan membahas revisi itu di Istana Negara bersama Presiden Jokowi pada Senin (18/5/2015), setelah pembukaan masa sidang DPR RI, beserta pimpinan lembaga seperti Kemenkumham RI, Kemendagri, Kemenkeu RI, Mekopolhukam RI dan lain-lain,” tegas Ketua DPR RI Setya Novanto pada wartawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (15/2/2015).

Menurut Setya Novanto, usulan rapat konsultasi itu disampaikan kepada Presiden Jokowi saat bertemu dalam pembukaan Kongres Partai Demokrat di Bali pada Selasa (12/5/2015) lalu. Saat itu juga Jokowi menyambut baik untuk segera digelar rapat.

"Sudah saya sampaikan salah satu yang sangat urgen dan penting untuk bangsa dan negara berkait pilkada ini perlu ditanggapi serius, dan saya apresiasi Presiden, karena masalah pilkada yang penting bagi Indonesia khususnya gubernur, wali kota dan bupati sehingga beliau betul-betul tanggapi serius dan langsung siapkan waktu," ujarnya.

Selain itu, ada hal-hal lain selain Pilkada yang tentu mengajak untuk bisa memberikan suatu saran dan pendapat.

Sebelumnya Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan, di antara masalah pilkada yang akan dibahas adalah masalah Golkar dan PPP yang kemungkinan besar tak bisa menjadi peserta karena terbentur Peraturan KPU tentang pencalonan.

Masalah lainnya adalah anggaran bagi KPU daerah yang hingga saat ini masih banyak yang belum tersedia, sementara jika sampai tanggal 18 belum ada anggaran tahapan Pilkada diundur. "Dari 269 ada 184 yang belum siap dananya, ini masalah krusial. Jadi disamping aspek pendanaan juga aspek legal," kata politisi PAN ini.

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, menyatakan bahwa rapat itu akan dijadikan sebagai forum bagi pimpinan DPR untuk meyakinkan pemerintah agar menyetujui revisi UU Pilkada sebagai jalan keluar bagi Golkar dan PPP. Di mana sebanyak 269 daerah pada Desember 2015 mendatang akan melaksanakan Pilkada serentak.

“Pilkada serentak ini baru digelar saat ini, sehingga jangan sampai ada yang penyeleneggaraannya cacat hukum dan politik. DPR yakin revisi UU Pilkada tersebut akan selesai sebelum 26 Juli, waktu pendafataran calon kepala daerah dibuka,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi terjadinya kegaduhan politik tersebut, maka Komisi II DPR RI mengusulkan revisi UU No.2 tahun 2015 tentang Pilkada. Itu artinya sebelum penyelenggaraan Pilkada serentak seluruh aturan main, payung hukum, dan penyelenggaranya sendiri harus disiapkan dengan baik.

“Kalau tidak ada revisi dari UU Pilkada maka akan terjadi potensi kekacauan dan kegaduhan politik di tingkat akar rumput, sehingga perlu ada revisi. Kalau Komisi Pemilihan Umum (KPU) khawatir dengan revisi itu, maka DPR RI akan meyakinkan Presiden Jokowi. Di mana revisi itu harus dilakukan sebagaimana revisi UU MD3 (MPR,DPR,DPD, dan DPRD) dan akan selesai dalam satu masa sidang,” tegas Fahri Hamzah.

Wasekjen DPP PKS itu yakin revisi tersebut akan selesai sebelum tanggal 26 Juli ketika pendaftaran 269 calon kepala daerah tersebut. “Jadi, baik ada konflik Golkar dan PPP atau tidak, revisi itu suatu keharusan. Apalagi suara Golkar dan PPP mencapai 25 juta orang. Itu suara rakyat dan kalau diabaikan bisa kacau bangsa ini. Fakta ini juga akibat keputusan pemerintah juga yang mengacaukan partai politik itu sendiri,” tambahnya.

Menurut Fahri Hamzah, jika revisi itu tidak melanggar UU No.12 tahun 2011 tentang kententuan pembuatan UU. Kemendagri pun katanya, mendukung setiap perubahan aturan sebagai upaya melaksanakan sesuatu yang lebih baik. “Kalau ada dampak negatif dari aturan yang ada, maka Kemendagri mendukung upaya perbaikan itu melalui revisi UU Pilkada. Saya yakin Presiden RI juga akan mendukung,” ungkapnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy, menilai konflik Golkar dan PPP ini sebagai kasus baru, dan sudah diakomodir dalam UU Parpol, di mana konflik itu diselesaikan melalui Mahkamah Partai (MP) dan SK Kemenkumham RI.

“Kalau belum selesai juga maka menunggu keputusan pengadilan terakhir yaitu dari Mahkamah Agung (MA). Sebab, Kemenkumham itu sifatnya adminsitratif saja, tidak berhak memutuskan mana yang sah dan tidak sah. Jadi, Kemenkumham RI itu hanya meregister-mendaftar,” kata politisi PKB ini.

Karena itu kalau dalam pendaftaran Pilkada nanti belum ada keputusan tetap, inkrah dari MA, maka KPU mengakomidir yang sudah di SK-kan oleh Kemenkumham RI. Tapi, kalau kemudian setelah pendaftaran di KPU pada 26 Juli itu MA memutuskan berbeda dengan keputusan SK Kemenkumham RI tersebut, maka KPU wajib mengakomodir atau mengikuti keputusan MA.

“Yakni, kalau Golkar Aburizal Bakrie (ARB) yang menang di MA, maka Golkar Agung Laksono yang sudah mendaftar di KPU misalnya, maka harus berada di bawah kepengurusan Golkar ARB. Demikian pula PPP. Kalau PPP Djan Faridz yang menang di MA, maka PPP Romahurmuziy (Romi) mengikuti PPP Djan Faridz. Sedangkan putusan PTUN itu inkrahnya tetap di MA,” pungkasnya.

 Editor: Surya