Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tangani ABH, Perlu Asesmen untuk Indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Oleh : Habibi
Jum'at | 24-04-2015 | 16:43 WIB
putu.jpg Honda-Batam
Putu Elvina Gan. (Foto: ist)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Anak berkebutuhan khusus seperti penyandang autistik ataupun ADHD, rawan bermasalah dengan hukum mengingat gangguan perilaku yang disandangnya. Karena itu, jika ada anak-anak yang bermasalah dengan hukum (ABH), perlu terlebih dahulu dilakukan asesmen untuk mengidentifikasi apakah anak bersangkutan termasuk anak berkebutuhan khusus atau bukan.

"Anak autis dan ADHD juga menyandang gangguan perilaku. Tidak semua orang paham. Ini juga sebenarnya rawan jika tiba-tiba mereka dihakimi massa karena dinilai melakukan tindakan kriminal," kata Putu Elvina Gani, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kepada BATAMTODAY.COM, belum lama ini.

Dia mencontohkan saat berada di ruang publik. Karena gangguan perilaku yang dialami, bisa saja anak-anak seperti itu terdorong untuk mengotak-atik motor yang sedang diparkir.

"Nah, saat ini sedang tren-trennya pencurian motor. Melihat ada tindakan anak yang mencurigakan itu, bisa saja massa langsung meneriakinya maling dan menghakiminya. Padahal, niatnya bukan mencuri, tapi terdorong oleh perilakunya," terang Putu.

Kemudian, imbuh Putu, anak-anak yang dianggap bermasalah secara hukum ini dilaporkan ke polisi. Karena alasan efek jera, mereka dijebloskan ke tahanan anak atau dimasukkan ke panti rehabilitasi anak.

"Menghukum anak berkebutuhan khusus itu tak tepat. Malah bisa memperparah gejalanya. Inilah masalahnya. Mereka bukan jadi jera, tapi mereka tak paham bahwa yang dilakukannya itu tak boleh dan dilarang oleh hukum," terang mantan Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kepulauan Riau ini.

"Seharusnya, jika ada anak-anak bermasalah dengan hukum, terlebih dahulu menjalani asesmen. Melalui asesmen itulah nanti teridentifikasi apakah anak bersangkutan tergolong berkebutuhan khusus atau tidak," imbuhnya.

Jika teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan khusus, penanganan selanjutnya adalah melalui terapi. "Tapi, kalau terapi pun siapa yang bayar? Apakah semua orang tua sanggup? Lantas, ini menjadi tugas siapa? Nah, di sinilah yang harus dibicarkan bersama," ujar Putu.

Dia mengakui, Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), meski sudah mengakui keberadaan anak berkebutuhan khusus, tetapi petunjuk teknis pelaksanaannya (baca: peraturan pemerintah) belum ada.

"Meski demikian, perlu ada pemikiran ke arah itu (penggunaan asesmen). KPAI sendiri akan mendorong terbitnya petunjuk teknisnya," kata Putu. (*)

Editor: Roelan