Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PKB Sebut ISIS Gerakan Ideologi Transaksional
Oleh : Surya
Rabu | 22-04-2015 | 19:12 WIB
Maman_Imanulhaq.jpg Honda-Batam
KH Maman Imanulhaq

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota DPR RI dari Fraksi PKB KH Maman Imanulhaq mengatakan, persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia, harus bisa dicegah sebelum tumbuh besar. 


Salahsatu solusinya, dengan menumbuhkan rasa cinta tanah air bisa jadi senjata perangi masuknya faham kekerasan, terutama ISIS.

"Harus dipahami, bahwa cinta tanah air itu adalah perintah agama. Namun Problem menanamkan arti cinta tanah air Indonesia terbentur dengan adanya ideologi transnasional dan transaksional. Ini yang selama ini terjadi," ujar legislator yang akrab disapa Kyai Maman ini, pada wartawan, Rabu (22/04).

Menurut Kyai Maman, bagi sebagian masyarakat ideologi itu dianggap sebagai ideologi internasional. Padahal kita tahu semua orang Indonesia harus punya sikap cinta tanah air karena orang yang tidak memiliki kecintaan pada tanah airnya, berarti mereka sesungguhnya mengingkari sejarahnya sendiri.

Sementara terkait beberapa keragaman agama, suku dan kebudayaan di Indonesia ada beberapa pemahaman berbeda tentang cinta tanah air. Tapi justru pemahaman cinta tanah air yang berbeda-beda membuat rasa nasionalisme muncul untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara, sesuai dengan agama masingmasing.

"Agama dan keyakinan itu bisa menjadi transformasi dalam mewujudkan perdamainan dan itulah yang terjadi di Indonesia. Saat Islam menjadi yang terbesar di Indonesia sekarang, kehidupan beragama bisa menjadi harmonis dan bisa berdampingan satu sama lain. Jika hal itu ditanamkan dan diperkuat, saya yakin faham-faham radikalisme akan sulit masuk ke negara kita," ungkap Kyai Maman.

Dirinya juga menilai, faham transnasional seperti ISIS harus dilawan dengan rasa nasionalisme yang tinggi. "Kita mengatakan Islam Indonesia, Kristen Indonesia, tetapi kita sepakat dengan identitas masing-masing sehingga toleransi berjalan dengan baik dan bisa berpikir moderat dalam memahami perbedaan," tukasnya.

Sementara soal Ideologi kedua, lanjut Kyai Maman yakni ideologi transaksional. Dimana persoalan materi selalu menjadi faktor dasar dan paling utama dalam membuat keputusan. Ironisnya, ISIS juga menggunakan ideologi transaksional.

"Orang berbondong-bondong bergabung dengan ISIS, karena tawaran Rp 183 miliar per hari yang dihasilkan ISIS. Jadi kalau bergabung dengan ISIS, mereka akan mendapat banyak uang dan bisa berjihad atas nama Islam. Itu adalah promosi yang efektif bagi ISIS, meski sebenarnya hanya ilusi," tegasnya.

Karena itu, masyarakat Indonesia harus tahu dan paham bahawa cara-cara ISIS jauh dari ajaran agama Islam. "Tidak mungkin ada agama yang membolehkan membunuh, penghinaan terhadap wanita, menghancurkan situs-situs agama," ungkap Kyai Maman.

Untuk melawan propaganda itu, Kyai Maman menggarisbawahi bagaimana kebijakan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat berjalan efektif. Dimana, kemiskinan dan kebodohan membuat orang mau dengan muda bergabung dengan kelompok radikal ekstrem. 

"Orang yang menghitung materi akan hilang ketika ia mencintai Indonesia. Caranya, buat kepastian hukum, hilangkan korupsi, dan sejahterakan masyarakat Indonesia. Ini menjadi tugas berat kita bersama, terutama pemerintah Republik Indonesia," pungkasnya. 

Sementara itu, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk menilai salahsatu faktor kenapa banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang pergi ke Timur Tengah dan bergabung dengan ISIS akibat pemahaman kurang tepat soal Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  

"Saya pikir jika mereka menghayati arti cinta tanah air, radikalisme dan kepergian mereka ke Suriah tidak akan pernah terjadi. Mereka itu ibarat kemasukan racun yang berupa radikalisme seperti ISIS. Penawarnya ya harusnya informasi yang tepat dan pancasila itu sendiri," paparnya. 

Menurut Hamdi, mereka yang nekad pergi ke Suriah karena merasa tidak puas berada di Indonesia. Orang-orang itu, lanjutnya, berpikir di Indonesia sudah tidak ada harapan lagi sehingga harapan mereka bisa tinggal di negara utopis (khayalan) yang disebut negara Islam. 

"Kondisi itu dipicu dengan keadaan negara kita yang masih karut marut ditambah korupsi yang masih merajalela, dan ketidakadilan, serta kelakuan pejabat yang tidak benar. Itu membuat daya tarik Indonesia di mata mereka menjadi rendah sehingga mereka berbondong-bondong ingin ke sana. Apalagi ada jaminan masa depan yang dijanjikan ISIS," terang Hamdi.

Namun, lanjut Hamdi, jika berpikir jernih, mereka seharusnya sadar ISIS bukan negara impian mereka. "Jika sadar dan kritis, seharusnya mereka sudah tahu. Masak negara Islam bengis dan tidak mencerminkan sikap Islami dengan melakukan eksekusi seenaknya serta tindakan tidak berperikemanusiaan lainnya," terang Hamdi. 

Hamdi juga mengatakan, bahwa counter radikalisasi terus dilakukan seluruh masyarakat bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan badan-badan terkait lainnya.

"Intinya tugas kita bagaimana bisa menyaring para remaja agar tidak ikut pengajian yang berhaluan keras. Mereka harus punya rasa cinta tanah air yang tinggi serta pemahaman agama benar, terlebih remaja biasanya sangat mudah terkena rayuan karena pemahaman mereka masih sepotong-sepotong," tandas Hamdi.

Editor : Surya