Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tiongkok Perluas Pulau di Perairan Sengketa di Laut Cina Selatan
Oleh : Redaksi
Kamis | 16-04-2015 | 08:16 WIB
paracel_island.jpg Honda-Batam
Citra udara yang memperlihatkan foto Pulau Paracel yang diklaim Tiongkok. (Foto: net)

BATAMTODAY.COM, Manila - Suatu citra satelit menggambarkan Tiongkok atau yang lebih populer dikenal sebagai Cina tengah memperkuat kendali di Kepulauan Paracel, timur Vietnam. Perluasan terjadi seiring upaya Beijing sedang membangun tujuh pulau kecil baru di Laut Cina Selatan.

Pulau Woody dan Pulau Duncan di Paracel meluas secara signifikan akibat proyek reklamasi terbaru Cina. Data merupakan bagian dari laporan perusahaan penyedia citra satelit DigitalGlobe yang dirilis Selasa silam oleh situs berita The Diplomat.

Vietnam mengklaim semua pulau yang disengketakan. Meski, Pulau Woody merupakan rumah bagi permukiman terbesar Cina di Laut Cina Selatan. Kota Sansha, namanya, tercatat berpenduduk 600 orang.

Cina mengklaim sekitar 90 persen Laut Cina Selatan. Bagian ini juga diklaim Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam. Semua pengklaim kecuali Brunei memiliki permukiman di kepulauan tersengketa di bawah kendali masing-masing. Namun, Cina memperkuat jejak di kawasan perselisihan, memicu protes keras—tanpa aksi kolektif—dari para tetangganya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, sebelumnya mengatakan kepulauan terkait bakal digunakan sebagai "pertahanan militer" serta kepentingan publik lainnya. Hong Lei, juru bicara lain di kementerian yang sama, pada Selasa menyatakan, "Kepulauan Paracel merupakan wilayah yang tak bisa dipisahkan dari Cina."

Hubungan diplomatik antara Beijing dan Hanoi mengeruh pada setahun silam. Saat itu, Cina menempatkan anjungan pengeboran minyak di perairan yang diperebutkan dengan Vietnam. Hubungan keduanya berangsur-angsur pulih, sesudah Cina memindah anjungan pada Juli.

Amerika Serikat (AS) pada Selasa mendesak Cina mengedepankan solusi damai dalam sengketa teritorial di Laut Cina Selatan. "Kami tak yakin bahwa reklamasi berskala besar yang memiliki tujuan-tujuan militer di lahan sengketa memang sejalan dengan hasrat akan perdamaian dan stabilitas di kawasan," papar seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS.

Presiden AS, Barack Obama, pekan silam memaparkan Cina "belum tentu mematuhi hukum internasional; (mereka) menggunakan kekuatan ototnya agar negara-negara lain berada di bawahnya."

Hanya lantaran Filipina atau Vietnam tak sebesar Cina, "bukan berarti mereka bisa semudah itu disikut," kata Obama dalam kunjungan ke Jamaika pada Kamis, saat ditanya soal program pembangunan berbasis pulau oleh Cina.

Senin silam, pemerintah Filipina menyatakan kalau program pembangunan Cina bakal merugikan kawasan Laut Cina Selatan hingga sebesar $100 juta per tahun. Kerusakan yang ditimbulkan termasuk pada ekosistem setempat, juga penurunan pasokan ikan.

Pada 2013 lalu, Manila mengirim gugatan arbitrase yang menyeret Cina ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Cina menolak berpartisipasi dalam prosesnya. Mahkamah Internasional diprediksi menetapkan keputusan dalam kasus ini pada awal 2016.

Sejauh ini, tak segenap negara Asia bermasalah langsung dengan Beijing di Laut Cina Selatan. Mereka pun cenderung enggan berpihak pada Hanoi dan Manila, mengingat posisi Cina sebagai salah satu sumber penting bantuan serta investasi masing-masing. (*)

Sumber: WSJ