Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Budaya Elit Dorong Perebutan Kekuasaan
Oleh : Surya Irawan
Selasa | 24-03-2015 | 09:42 WIB
diskusi_ikrar.jpg Honda-Batam
Zainut Tauhid bersama Ikrar Nusa Bakti dalam diskusi di DPR RI.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pimpinan Badan Sosialisasi MPR Zainut Tauhid berpendapat bahwa budaya politik yang dipertontonkan elit politik dewasa ini, bukan lagi untuk kesejahteraan rakyat dan mengutamakan politik kebangsaan.


Namun budaya politik elit itu, masih didominasi dan didorong hanya untuk mencari kekuasaan, mengedepankan politik simbolis, politik saling sandera, dan politik cepat saji atau instan.

Karena itu, warna  perjalanan politik sekarang ini seolah tidak lagi berbudaya, beradab, melainkan lebih mementingkan kepentingan elit dan kekuasaan, terus menerus  berkonflik, caci-maki, saling menghujat dengan kata-kata yang kotor, sehingga  bertentangan dengan amanat empat pilar MPR RI.

"Elit politik itu, masih dimaknai untuk mencari kekuasaan semata dan itu bisa dilihat melalui Gubernur, Bupati dan Wali Kota di berbagai daerah di Indonesia. Setelah terpilih, mereka sudah berpikir bagaimana bisa terpilih untuk yang kedua kalinya. Selanjutnya, bagaimana keluarganya bisa melanjutkan sekaligus melanggengkan kekuasaan itu," kata  Zainut Tauhid dalam dialog empat pilar MPR RI dengan tajuk 'Budaya Politik Kebangsaan dan Pengaruhnya di Masyarakat' bersama peneliti senior LIPI Prof. Dr. Ikrar Nusa Bakti di Gedung DPR RI Jakarta, Senin (23/3/2015).

Politisi PPP ini menyatakan, elit politik cenderung mengabaikan etika dan norma politik dan terkesan sangat berkepentingan dengan Partai Politik (Parpol), karena posisi jabatan itu memang banyak hanya bisa diperoleh melalui Parpol. Sementara  kader-kader Parpol sendiri lebih mementingkan modal dan uang daripada kualitas, integritas, kapabilitas, sehingga wajar sekitar 70 persen Kepala Daerah tersandung kasus hukum.

Menurut Zainut, karena masih mengedepankan politik simbolis, maka yang  muncul adalah pertarungan simbolis seperti antara KMP Vs KIH, KPK Vs Polri,  Ahok Vs DPRD DKI dan lain sebagainya.

Semua didistorsi politik simbolis, bukan substansi masalah yang sesungguhnya. Padahal, ada kasus hukum yang muncul, namun yang terjadi adalah save KPK, save Polri, Komjen BG tersangka sebagai pelemahan Polri, praperadilan Ketua KPK Abraham Samad  untuk melemahkan KPK, save Ahok dan save Haji Lulung dan seterusnya.

"Banyaknya persoalan dielit politik, sehingga melakukan strategi eksistensi politik dan menjadikan kasus sebagai sandera, tukar guling kasus. Hal ini sebenarnya,  menggambarkan politik tak sehat k arena akar masalah yang sesungguhnya tak tersentuh dan tak selesai,"” ujar Zainut sambil menyebutkan bahwa politik instan, cepat saji, memunculkan secara mendadak di setiap Pilkada tumbuh saudagar, pengusaha, pedagang, artis dan sebagainya menjadi politisi.

Padahal, mereka ini kata Zainut, tidak memiliki identitas politik, tak pernah mengalami kaderisasi di Parpol, tak ada ikatan emosional dengan partai dan sebagainya. Karena itu, begitu menjabat langsung 'cair' karena tak memiliki semangat yang sama dengan parpol pendukungnya. Mereka itu, selalu spekulatif, judi, untung-untungan, high politik, pembajak politik, pembegal demokrasi. Sebab, ukurannya selalu untung-rugi dalam memimpin daerah, walaupun sering melanggar aturan main yang disepakti bukan  berpikir untuk kemaslahatan rakyat.

Menurut Zainut, Indonesia, sesungguhnya harus dipimpin oleh tokoh-tokoh yang memahami kemajemukan dan keragaman bangsa. Sebab, demokrasi itu adalah alat untuk memberdayakan dan menyejahterakan rakyat. Karenanya, instrumen-instrumen negara dan masyarakat sipil harus diperkuat termasuk parpol.

Peneliti senior LIPI Prof Dr. Ikrar Nusa Bakti membenarkan, dalam politik hanya ada yang berkuasa dan dikuasai. Dia membenarkan, budaya politik, founding fathers dulu, meski sering terjadi perbedaan tajam, namun  tetap santun apabila memberi komentar di parlemen.

"Mereka memahami, bahwa pernyataannya sebagai politisi, disiarkan di mass media, baik media cetak, radio dan televisi sehingga banyak anak-anak yang menyaksikan dan membacanya. Sejujurnya, kalau budaya politik seperti sekarang ini disaksikan dan ditonton anak-anak kita, sangat berbahaya," ujar Ikrar Nusa Bakti serius.

Editor: Dodo