Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Komisii III DPR Masih Tunggu Naskah Akademik dari Pemerintah soal Revisi UU KUHP
Oleh : Surya
Selasa | 24-02-2015 | 22:02 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin menegaskan DPR RI masih menunggu naskah akademik revisi UU Kitab Undang-udang Hukum Pidana (KUHP) dari pemerintah, yang akan mulai dibahas pada masa sidang Maret 2015 mendatang.


DPR belum tahu apakah revisi UU KUHP itu akan dilakukan secara kodifikasi, modifikasi, bertahap atau tidak. Sebab, hanya melalui naskah akademik itulah sebuah revisi bisa mulai dilakukan dengan melakukan pengakjian terlebih dahulu.
 
"Jadi, DPR belum menerima naskah akademik dari pemerintah untuk revisi UU KUHP itu. Sebab, hanya melalui naskah akademik itulah, kita akan mulai mengkaji dan mempelajari untuk pembahasan lebih lanjut. Semoga saja pemerintah sesuai waktu yang ditetapkan, agar pembahasannya bisa segera dimulai," kata Azis Syamsudin dalam 'Revisi UU KUHP dan Urgensi Penegakan Hukum' bersama pakar hukum pidana UI Akhyar Salmi, dan Anggara dari ICJR (Institute Criminal Justice Reform) di Jakarta, Selasa (24/2/2015).
 
Sedangkan Akhyar Salmi, dalam menyusun UU itu perlu konsistansi termasuk apakah dilakukan secara bertahap, modifikasi, membongkar total atau kodifikasii.

"KUHP kita ini masih banyak yang copu faste, foto kopian dari KUHP produk lama, yang sudah waktunya disesuaikan dengan perkembangan sekarang. Misalnya terkait pencucian uang, korupsi, terorisme dan sebagainya semua menjadi satu. Juga sanksi yang dijatuhkan ada denda dan penjara, ini melanggar azas-azas hukum yang tak boleh dijatuhkan kedua-duanya," kata Akhayar. 

Menurutnya,  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  harus mempunyai penyidik sendiri karena diatur dengan undang-undang lex spcialist. Penyidiknya bukan dari Polri atau lembaga hukum lain, 

"Hukum pidana itu harus obyektif materiil formil terkait siapa dan perbuatan apa yang bisa dipidana? Apalagi selama ini koruptor lebih memilih dipenjara daripada mengembalikan uang negara," katanya.

Akhyar Salmi menegaskan, UU KPK harus menekankan pada hukum pokoknya, yaitu mengembalikan uang negara dan bukan hukuman penjaranya.

"Kalau penjaranya, nanti mendapat remisi, bahkan dengan uang para koruptor itu bisa keluar bebas nonton golf, berlibur sampai keluar negeri dan sebagainya. Jadi, kalau kita serius, menjadikan hukuman penjara itu diganti dengan uang," katanya.

Jika nantinya para koruptor tersebut tidak mampu membayar kerugian negara yang dikorupsi itu, maka  anak keturunanya harus menanggung sama sampai lunas.

"Tapi, yang baru daru KUHP yang sudah lama dibahas oleh DPR RI itu hanya mengenai santet, kupul-kebo, dan pornografi saja. Harusnya soal keturunan yang menanggung uang koruptor yang dikorupsi juga harus diaturr," katanya. 

Sementara Anggara menyatakan pesimis DPR akan mampu menyelesaikan 760 pasal KUHP yang akan dibahas. Bahkan dia yakin selama 5 tahun mendatang juga tak akan selesai. Untuk itu, jangan berharap ada sesuatu yang baru dari KUHP ini, karena dalam merevisi UU itu tidak dimulai dengan paradigma hukum itu sendiri.

"Jadi, tak ada KUHP versi Indonesia, kecuali Perancis, dilanjutkan oleh Belanda dan kemudian ke Indonesia. Maka ide merombak total KUHP itu mustahil," kata Anggara.

Editor : Surya