Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perpustakaan Jurnalistik Kini Telah Hadir di Kepri
Oleh : Redaksi
Jum'at | 06-02-2015 | 18:28 WIB
bedah_buku_hpn.jpg Honda-Batam
Para pembicara dan moderator dalam bedah buku yang digelar di Kepri Mall bersempena peringatan HPN 2015. (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Batam - Keinginan Ketua PersatuanWartawan Indonesia (PWI) Pusat H. Margiono untuk mendorong berdirinya perpustakaan jurnalistik di Provinsi Kepri, telah terealisasi. Perpustaan itu diberi nama "Perpustakaan Jurnalistik Raja Ali Kelana" yang beralamat di Ruko Mega Legenda Blok E 3 No. 16 Batam Center.

Perpustakaan inilah yang diresmikan dengan pemberian buku secara simbolis oleh Pengurus PWI Pusat yang juga Ketua Tim Buku Panitia Hari Pers Nasional (HPN), Widodo Asmowiyoto kepada Sekretaris PWI Kepri, Saibansah Dardani, sesaat sebelum diskusi dan acara bedah buku digelar di area Pameran Peradaban Pers HPN 2015 Kepri Mall Batam, Jumat (6/2/2015). 

"Kami berharap dengan adanya perpustakaan jurnalistik ini, akan membuka wawasan masyarakat, khususnya kalangan mahasiswa dan pelajar bahkan para wartawan di Kepri," ujar Widodo.

Selanjutnya, digelar acara bedah buku yang membedah 3 judul buku tentang kemaritiman dan tol laut. Tiga buku yang dibahas dalam kegiatan tersebut adalah "Jokowi, Revolusi Mental Mewujudkan Indonesia Baru" karya Usman Yatim.

Buku kedua berjudul "Tol Laut dari Natuna ke Papua" karya Sekretaris PWI Kepri, Saibansah Dardani. Selanjutnya buku "Di Laut Kita Jaya" karya Nurcholis MA Basyari. Kegiatan dimoderatori Widodo Asmowiyoto.

Dalam paparanya berdasarkan isi buku yang dikarangnya, Usman Yatim banyak menyampaikan mengenai terobosan-terobosan dari Presiden Joko Widodo yang berawal dari Wali Kota Surakarta hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta sebelum terpilih menjadi Presiden.

Ia mengatakan, meski seharusnya saat ini Presiden Joko Widodo seharusnya belum habis masa jabatanya sebagai Wali Kota Solo, namun dengan posisinya sebagai Presiden dia mampu menggaungkan revolusi mental dan Indonesia sebagai poros maritim dunia meski hal tersebut tidak akan mudah.

"Yang jelas, apa yang dilakukan merupakan gagasan yang di luar dugaan sebelumnya. Apalagi dia merupakan pengusaha mebel, namun dia berani menggaungkan kemaritiman sebagai sektor utama yang diusungnya," kata dia.

Sementara, Saibansah dalam pemaparannya mengatakan, laut adalah kehidupan sehari-hari masyarakat Kepri. Bahkan di Kepri ada suku laut yang lahir besar dan meninggal di laut.

"Ketika laut tidak dimanfaatkan khususnya pada perbatasan. Bisa jadi akan terjadi disintegrasi bangsa," kata dia.

Tol laut, kata dia, menjadi solusi bagi Kepri dan seluruh wilayah Indonesia untuk mencapai kesejahteraan.

"Di Kepri, akibat kurang tersedianya transportasi laut maka sebagian masyarakatnya lebih banyak mengonsumsi produk Malaysia dan lebih paham lagu Majulah Singapura dibanding lagu-lagu kebangsaan kita. Ini menunjukan bahwa kurangnya pengelolaan kawasan perbatasan dari pemerintah pusat," kata Saiban.

Jika hal tersebut tidak teratasi, kata dia, maka potensi disintegrasi bangsa sangat tinggi pada wilayah perbatasan yang tidak terurus dalah satunya dengan penyediaan transportasi laut untuk distribusi barang dan mobilitas masyarakat perbatasan.

Pengarang buku "Di Laut Kita Jaya", Nurcholis mengatakan sudah sejak lama revolusi mental dan kemaritiman sudah didengungkan namun yang perlu adalah tataran implementasi.

"Dibutuhkan orang-orang gila agar bisa mengemplementasikannya. Namun tidak bisa hanya menyandarkan pada pemerntahan saat ini. Namun harus juga didorong agar pemerintah berikutnya agar melanjutkan," kata dia.

Direktur Konfederasi Wartawan ASEAN (CAJ/Confederation Asean Journalist) Persatuan Wartawan Indonesia, Big Solon Sihombing yang menjadi salah satu penanggap dalam kegiatan tersebut mengatakan di Indonesia masalah mental yang harus diperbaiki.

"Revolusi mental memang harus dilakukan. Karena jika dibandingkan negara-negara lain terutama negara barat, mental bangsa Indonesia masih kalah jauh," kata dia.

Perseteruan antara Polri dan KPK kata dia, tidak lepas juga dengan persoalan mental para penegak hukum.

"Karena mental yang tidak terasah, mereka malah berantem sendiri bukanya menegakkan hukum," kata Sihombing.

Muhammad Nasir dari Kompas mengatakan pengenalan kepada anak-anak dan generasi muda tentang kemaritiman masih kurang.

"Harus diajarkan bagaimana mencintai air. Karena selama ini dianggap air membahayakan. Padahal manusia identik dengan air," kata dia.

Editor: Dodo