Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Djasarmen Sebut SK 463 Masih Jadi Persoalan Utama di Batam
Oleh : Surya
Rabu | 28-01-2015 | 15:42 WIB
Djasarmen Purba.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Anggota DPD Kepri Djasarmen Purba

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komite II DPD RI Djasarmen Purba menilai persoalan SK 463/Menhut-II/2013 masih menjadi persoalan utama yang dihadapi masyarakat Kota Batam, meskipun sudah ada rekomendasi Ombusdman RI pada 9 Januari 2014 lalu, yang menyatakan telah terjadi maladministrasi pelayanan publik.


Dalam Laporan Kegiatan di Daerah Anggota DPD RI Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) pada 6 Desember 2014-11 Januari 2015 lalu, Djasarmen mengatakan, dengan terbitnya SK Menhut No. 463/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas ± 124.775 Ha.

SK 463 itu juga mengatur masalah perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas ± 86.666 Ha dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas ± 1.834 Ha di Provinsi Kepulauan Riau tanggal 27 Juni 2013 menjadi polemik tersendiri bagi masyarakat Kota Batam.

"Dalam peta yang menjadi lampiran SK tersebut, Tanjung Uncang, Tanjung Gudap, Batu Ampar, Batam Centre dan Batu Aji merupakan kawasan hutan. Padahal dalam Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun disebutkan bahwa Tanjung Uncang, Tanjung Gudap, Batu Ampar, Telaga Punggur dan Sekupang merupakan kawasan industri," kata Djasarmen.

Disamping itu, kata Djasarmen, di Batam Centre sendiri telah berdiri pusat pemerintahan Kota Batam. Sementara di Batu Aji telah berdiri ribuan rumah dan juga tempat-tempat ibadah selama 10 tahun lebih.

Akibat penetapan tersebut, lanjut Djasarmen, terdapat beberapa lokasi kompleks pemukiman yang dibangun pengembang (developer) dan bagian-bagian tanah serta unit-unit rumah yang telah dibeli konsumen, termasuk kawasan lindung sehingga masyarakat yang membeli rumah dikawasan tersebut tidak dapat memperoleh sertipikat hak tanahnya.

"Hal demikian sangat merugikan masyarakat yang telah membeli rumah namun tidak memperoleh kepastian hukum status hak atas tanahnya. Jumlah rumah yang berada di kawasan lindung ini sebanyak ± 22.000 rumah," katanya.

Senator asal kepri ini keputusan Menhut era Zulkifli Hasan itu, juga tidak sesuai dengan RTRW Kota Batam. Terdapat perbedaan zonasi kawasan lindung dalam RTRW Batam dengan Keputusan Menteri Kehutanan.

Menurut Kementerian Kehutanan, kawasan tersebut merupakan kawasan lindung sedangkan menurut RTRW Kota Batam, kawasan tersebut di luar (bukan termasuk) kawasan lindung.

"Terdapat tumpang tindih kewenangan dalam pengaturan tata ruang. Padahal Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan dengan tegas kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penataan ruang," katanya.

Selain itu, disamping menimbulkan permasalahan di bidang perumahan, penetapan SK Menhut tersebut juga membawa dampak bagi investasi bisnis di Kota Batam.

"Masyarakat mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menyelesaikan persoalan ini secepatnya agar usaha bisa berjalan dengan normal dan masyarakat mempunyai kepastian hukum terhadap aset yang mereka miliki," katanya.

Editor : Surya