Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ribka: Muhaimin Tidak Peduli Nasib TKI
Oleh : Surya Irawan
Jum'at | 24-06-2011 | 10:42 WIB
Muhaimin-Iskandar.jpg Honda-Batam

Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.

Jakarta,  batamtoday - Polemik soal moratorium Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan Saudi Arabia yang akan dilakukan oleh pemerintah saat ini, sesungguhnya sudah lama hal itu diminta DPR RI. Tapi,tidak pernah direspon oleh pemerintah atau Kemenakertrans. Bahkan Menakertrans  Muhaimin Iskandar tidak pernah menjalankan kontrak politik yang telah disepakati dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR RI.

Demikian diungkapkan Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning bersama Ketua Komite III DPD RI Hj Istibsyaroh, Anis Hidayah (Migrant Care), dan Irgan Chairil Mahfidz  (FPPP) dalam dialektika demokrasi bertajuk “Ruyati Dipancung, Mana Peran Negara?” di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (23/6//2011). 

“Moratorium TKI itu sudah lama diusulkan oleh DPR, tapi tidak ada respon. Selalu beralasan tidak ada lapangan kerja, melanggar HAM dan ketika Raker dengan DPR, Kemenaker dan BNP2TKI, hasilnya kontrak politik itu tidak dijalankan dan tidak ada sanksi. Padahal, banyak laporan dan pengaduan masyarakat terkait TKI ini yang tidak beres,” tandas politisi PDIP ini.

Sekarang lanjut Ribka, DPR membentuk Panja dan hasilnyanya disampaikan kepada Presiden SBY melalui pimpinan DPR RI untuk menandatangani moratorium TKI dengan Saudi Arabia. Selanjutnya dengan Malaysia, Hongkong, China, Brunei Darussalam dll. “Jadi untuk perlindungan TKI ini belum ada kemauan politik dari pemeirntah. Pemerintah hanya mengurusi devisa TKI juga konsorsium untuk mengumpulkan uang bukan untuk TKI,” tambah Ribka.

Istibsyaroh menegaskan jika pengiriman TKI itu hanya dilakukan untuk negara yang sudah menandatangani moratorium sesuai Pasal 27, UU 39/2004. “Jadi, pemerintah harus menghentikan pengiriman TKI ke LN dan  harus memberi sanksi bagi PJTKIS yang melanggar aturan. Saya heran yang buat UU pemerintah dan yang melanggar UU juga pemerintah. Kalau sekadar prihatin semua orang bisa menyatakan keprihatinan,” ujar Istibsyaroh.

Menurut Anis Hidayah, sesungguhnya sudah banyak aturan atau regulasi, tapi tidak ada yang menjelaskan soal perlindungan. “Setiap pergantian menteri. yang diganti hanya konsorsiumnya bukan asuransinya. Penyelesaian masalah dari tahun ke tahun juga tidak berubah,  tapi selalu reaktif terhadap masalah TKI yang muncul, tidak menyelesaikan masalah. Sikap Presiden SBY selalu ad hoc saja,” tutur Anis.

Lemah

Yang pasti kata Wakil Ketua Komisi I DPR FPD Hayono kasus pemancungan ini membuktikan public relation (PR) diplomasi RI lemah. "Ini membuktikan kalau PR kita lemah. Padahal, jika perwakilan pemerintah Indonesia di Arab Saudi mengetahui kapan eksekusi kepada Ruyati dilakukan, pemerintah bisa melakukan lobi dengan kerajaan Arab Saudi. Sehingga Ruyati masih ada kemungkinan terbebas dari hukum pancung itu,” katanya.

Yang jelas lanjut Ribka, penyelesaian masalah yang menimpa TKI tidak bisa diselesaikan hanya dengan kasus per kasus. Persoalan yang banyak membelit tenaga kerja Indonesia di luar negeri harus komprehensif dan menyeluruh. "Termasuk produk hukum dan undang-undang yang benar-benar melindungi dalam hal ini harus meratifikasi konvesi ILO tentang perlindungan buruh migrant dan keluarganya, mendorong terbentuknya UU PRT," ungkap Ribka.

Tidak kalah penting lagi, SBY harus bisa memikirkan atau menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Dengan begitu, rakyat Indonesia tidak harus menjadi TKI khususnya di sektor informal lagi. "Pembangunan yang berwawasan pasar bebas harus ditinggalkan dan orientasi kepada pembangunan yang berorientasi kerakyatan,” tambah Ribka.

Selama ini TKI dipandang hanya fokus kepada penyelesaian dari masalah pengangguran dan penerimaan devisa. Pemerintah tidak serius melindungi TKI, baik dalam proses sebelum pemberangkatan, penempatan. Kepulangan ke Indonesia. Pemerintah tidak maksimal. "Perhatian dan kebijakan pemerintah dalam program TKI lebih banyak memenuhi kepentingan PJTKI dan pengguna jasa TKI, sementara TKI sendiri terabaikan. Inilah kami namakan TKI telah menjadi komoditi," kata Ribka lagi.