Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Produk Unggulan Hilirisasi Berbasis SDA
Oleh : Redaksi
Kamis | 15-01-2015 | 10:57 WIB
kebun_sawit_mongabay.jpg Honda-Batam
Perkebunan sawit. (Foto: Mongabay.co.id)

Oleh: Agro Setya Wanaprasta*
 
AKTIVITAS ekonomi Indonesia terutama dalam bidang ekspor manufaktur hingga kini masih didominasi sektor berbasis sumber daya alam (SDA), yang notabene produk setengah jadi dan berteknologi rendah. Bahkan ada anggapan bahwa saat ini Industri dalam negeri dinilai belum mampu memaksimalkan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) nasional, sehingga kesejahteraan masyarakat masih rendah. Sehingga menjadi sangat disayangkan negara yang kaya akan sumber daya alam, harus kembali mengimpor barang yang dibuat dari buminya sendiri. kita mengekspor barang mentah atau barang setengah jadi, lalu kita kembali mengimpor barang tersebut setelah jadi.

Untuk itu, pemanfaatan SDA perlu diatur dan dikelola oleh pemerintah sehingga dapat menyejahterakan masyarakat. Pengelolaan SDA ini juga diharapkan digunakan semaksimal mungkin di dalam negeri oleh para pelaku industri. Pemerintah tentu harus mempercepat hilirisasi agar struktur ekspor didominasi produk-produk industri yang bernilai tambah tinggi. Ekspor harus difokuskan pada sektor unggulan berbasis Sumber Daya Alam seperti mineral dan perkebunan. Untuk perkebunan dapat memfokuskan di Karet dan Kelapa Sawit.

Sudah saatnya produk manufaktur Indonesia harus memiliki daya saing agar memenangkan pasar ekspor. Termasuk, memproduksi barang yang mengaplikasikan teknologi dan inovasi tinggi. Seperti yang dikatakan oleh Dewan Penasihat Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Djimanto bahwa sektor alas kaki dan sekelasnya tidak bisa selalu diandalkan untuk menopang ekspor manufaktur Indonesia. Menurutnya, hilirisasi industri berbasis SDA kita merupakan satu-satunya langkah strategis dan harus dilakukan segera. Dengan kekayaan SDA, kita bisa memaksa perusahaan masuk dan membangun industrinya di sini.

Untuk mendukung hilirisasi industri pemerintah harus memaksimalkan tersedianya infrastruktur pendukung produksi dan distribusi barang serta efektivitas pelayanan birokrasi dan kepastian regulasi. Kemudian menjamin adanya pasokan bahan baku dan sumber energi pada harga kompetitif.

Keinginan yang besar dari pemerintah Indonesia untuk mempercepat laju pembangunan ekonomi Indonesia mencapai visi Indonesia Mandiri, Maju, Adil dan Makmur di tahun 2025, memunculkan terobosan pemikiran yang tidak biasa, yakni diluncurkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Intisari dari Visi MP3EI tahun 2011 - 2025 tersebut diwujudkan melalui tiga misi yang menjadi fokus utamanya, sebagai berikut:

1) Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses sumberdaya kelapa sawit, karet dan kakao Indonesia. 2) Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik (untuk kelapa sawit, karet dan kakao) dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. 3)  Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju ekonomi yang didorong inovasi pada industri kelapa sawit, karet dan kakao.
Fokus penekanan kegiatan ekonomi utama kelapa sawit berada pada rantai nilai kelapa sawit, yang dimulai dari perkebunan, penggilingan , penyulingan, dan pengolahan kelapa sawit di industri hilir. Dengan agenda penting yang dapat dilakukan adalah : 1) Peningkatan produksi kelapa sawit akan lebih difokuskan kepada peningkatan produktifitas CPO per hektar. 2) Dalam hal penggilingan tandan buah segar kelapa sawit, permasalahan yang harus diperbaiki adalah perbaikan infrastruktur jalan (akses jalan) dari lahan ke PKS, dan penyediaan tangki timbun yang memadai. 3) Sektor hilir kelapa sawit Indonesia kurang menerapkan manajemen rantai nilai, sehingga belum mampu memberikan nilai tambah yang besar, karena ragam produk yang dihasilkan masih terbatas kepada oleokimia dasar dan biodiesel yang produksinya belum menguntungkan. Namun demikian, hilirisasi produk kelapa sawit harus digalakkan karena akan memperkuat posisi strategis Indonesia dalam persaingan industri kelapa sawit global, terutama melawan Malaysia.

Kegiatan utama industri karet dalam rantai nilainya juga berasal dari tiga kegiatan, yakni di perkebunan, pengolahan dan industri hilir karet. Mengingat produksi karet rakyat hasilnya 30% di bawah produktivitas perkebunan besar negara dan swasta, maka salah satu usaha terbesar yang harus dilakukan adalah meningkatkan produktivitas karet per hektarnya. Untuk itu, fokus perbaikan untuk industri karet adalah sebagai berikut : 1) Perbaikan mutu bibit karet (wajib bersertifikat), perbaikan teknik budi daya (jarak tanam) dan perawatan tanaman karet yang baik. 2) Melakukan budidaya tumpang sari pada dua tahun pertama budidaya karet dengan tanaman pangan, seperti kacang tanah, jagung, ubi jalar dll, sehingga menambah penghasilan petani karet, dan secara tidak langsung ikut membangun ketahanan pangan setempat. 3) Mengeliminasi kecurangan pencampuran lateks dengan bahan-bahan pengotor karet oleh para petani karet, serta meminimalkan jumlah pedagang perantara karet, agar penghasilan yang diterima petani menjadi lebih besar. 4) Perlu dilakukan penataan kelembagaan dan eksistensi para pengolah karet rakyat yang tidak efisien, perbaikan teknik pengolahan karet rakyat (bokar) dan karet lembaran (sheet). 5) Menumbuhkembangkan industri produk hilir karet di dalam negeri, terutama untuk ban, sarung tangan, busa kasur dan bantal, kondom, sol sepatu, vulkanisir ban dll.

Di seluruh Indonesia, saat ini terdapat 232 kawasan industri dengan luas total sekitar 78.976 ha. Dari jumlah itu, 110 kawasan industri berlokasi di bagian barat Pulau Jawa, 19 di Jawa Tengah, 32 di Jawa Timur, dan sisanya tersebar di luar Jawa. Dari seluruh kawasan industri tersebut, sebagian besar (18,7 ribu ha) berlokasi di Jawa. Terutama, kawasan industri di wilayah Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Banyaknya perusahaan yang memilih masuk ke kawasan industri di wilayah tersebut karena ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Para investor enggan mengembangkan kawasan industri di luar Jawa akibat minimnya infrastruktur. Untuk itu, pemerintah tentu perlu membangun kawasan industri di luar pulau jawa agar terjadi pemerataan ekonomi masyarakat.

Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Kadin, Natsir Mansyur bahwa tugas utama yang perlu dikerjakan oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin ialah melanjutkan hilirisasi industri mineral dan perkebunan, kemudian perlu melakukan pemerataan industri di luar Pulau Jawa. Menperin baru perlu membuat kebijakan baru yang lebih pro-industri untuk mengundang investasi di sektor manufaktur. Pembangunan pabrik-pabrik baru diperlukan untuk mengurangi impor bahan baku sektor manufaktur.

Ketua Komite Indonesia-Jepang, Kadin Indonesia Sony B Harsono mengatakan pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Menurutnya, saat ini pemerintah hanya fokus di Jawa, harusnya luar Pulau Jawa dapat perhatian khusus dari pemeritah jadi di luar Jawa tidak hanya fungsi ekonomi tapi juga sosial. Pemerintah perlu fokus membangun infrastruktur di luar Pulau Jawa. Saat ini, penyediaan listrik, sentra perekonomian seperti pabrik gula dan lain-lain adanya di Jawa, sementara luar Pulau Jawa masih sulit sehingga timbul perbedaan harga yang cukup tinggi. Soal proyek, pemerintah pun masih diskriminasi, Pulau Jawa diberi porsi yang cukup besar dibandingkan luar Pulau Jawa. Proyek-proyek pembangkit listrik misal di Jawa size 1.000 MW, di luar Jawa biasanya size lebih kecil antara 50 MW. Untuk itu, masyarakat masih menunggu keberpihakan pemerintah di dalam pengembangan infrastruktur daerah.

Dengan pembangunan industri hilirisasi berbasis SDA yang merata antara pulau jawa dan di luar pulau jawa. Di harapkan ke depan, perkembangan industri semakin berpihak kepada kesejaheraan rakyat Indonesia. Semoga. *
 
*) Penulis adalah pemerhati Masalah Perkebunan, Aktif pada Kajian Swadaya Alam Indonesia.