Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Berharap Kasus Bentrokan TNI vs Polri di Batam Jadi Pertimbangan Penyusunan RUU Kamnas
Oleh : Surya
Kamis | 11-12-2014 | 18:47 WIB
Mahfudz Siddiq.jpg Honda-Batam
Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kasus bentrokan antara TNI vs Polri di Batam antara Batalyon Infanteri 134/Tua Sakti dengan Brimob Polda Kepulauan Riau (Kepri) di Batam beberapa lalu dan bentrokan lainnya di berbagai daerah, hendaknya menjadi pertimbangan dalam penyusunan RUU Keamanan Nasional (RUU Kamnas).

Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddig, mengatakan, pertimbangan yang dimaksud adalah masalah sektor keamanan secara luas karena menempatkan kepolisian sebagai penanggung jawab. Hal itu dikuatirkan akan makin mempertajam konflik antara TNI vs Polri, sehingga RUU Kamnas yang akan diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi ) ke DPR, jangan bersifat sektoral atau ruang lingkup kepolisian saja.

"RUU Kamnas itu yang akan dibahas DPR dan akademisi dalam menyusun draft, serta naskah akademiknya, dan hendaknya bukan hanya bersifat sektoral, yaitu bukan hanya lingkup kepolisian, tapi di luar itu ada keamanan kesehatan, dunia cyber, media sosial dan sebagainya sebagaimana diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat," kata Mahfudz di Jakarta, Kamis (11/12/2014).

Menurutnya, kedatangan bos facebook Mark Zuckerberg ke Indonesia, dan langsung menemui Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, yang meminta Indonesia mempercepat pembangunan jaringan internet, bisa dianggap mengganggu keamanan nasional. Ia berharap agar Indonesia jangan mau diatur asing karena bisa membahayakan generasi muda.

"Nah, hal-hal seperti ini tidak mungkin ditangani oleh TNI/Polri, tetap harus melibatkan ahli TI (Teknologi Informasi). Internet juga bagian dari kemananan nasional," katanya.

Karena itu, politisi PKS ini mendesak pemerintahan Jokowi agar tidak menarik TNI/Polri dalam kepentingan penyusunan RUU Kamnas seperti yang terjadi pada masa pemerintan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menfokuskan pada perspektif penegakan hukum sehingga ketika diterapkan di lapangan terjadi persaingan antara TNI/Polri.

"RUU Kamnas ini juga jangan sampai terjadi tarik-menarik antara kepentingan TNI/Polri. Cakupannya harus nasional dan internasional, karena ancaman keamanan itu sekarang multi nasional. Sehingga, kalau tanpa kajian secara komprehensif akademis, maka pengesahan RUU Kamnas itu bisa terancam di DPR RI," katanya.

Hingga kini, lanjut Mahfudz, DPR belum menerima draf naskah akademik RUU Kamnas yang dibuat Presiden Jokowi. "Sampai saat ini, DPR belum mengetahui draft naskah akademiknya dan siapa yang menyusun, dan kajian itu membutuhkan waktu yang lama. Jadi, pemerintah harus mengajukan RUU Kamnas itu setelah dikaji secara matang, tak saja di sektor keamanan kepolisian, melainkan multi nasional dan melibatkan berbagai pihak," katanya.

Reformasi Polri
Pada kesempatan itu, Mahfudz Siddiq mendukung pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Rymizard Ryacudu untuk menuntaskan reformasi Polri dengan menempatkan Polri di bawah sebuah kementrian seperti halnya reformasi TNI yang kini sudah di bawah kementrian pertahanan.

"Saya mendukung pernyataan Menhan untuk menuntaskan reformasi Polri dan menempatkan Polri di bawah kementrian seperti TNI yang sudah direformasi dan kini berada di bawah Kementrian Pertahanan. Ini bertujuan agar konflik antara TNI-Polri tidak terus berulang kali terjadi," katanya.

Reformasi Polri yang tidak tuntas memberikan kesan bahwa polisi masih menjadi militer dengan seragam, senjata dan atribut militer lainnya, sementara TNI saat ini sudah berada di bawah sipil. "Anggaran TNI sudah di bawah Kemenhan, sementara Polisi anggaranya langsung di bawah Presiden," katanya.

Dia mengharapkan Presiden Jokowi bisa tegas tanpa harus menghiraukan keberatan Polri agar Polri lebih profesional seperti halnya TNI.

"Tentara dulu juga menolak ketika mau direformasi. Tapi kini kita lihat hasilnya ketika militer di bawah supermasi sipil tidak ada lagi TNI berbisnis. Kalau tidak seperti itu, siapa yang bisa melarang TNI berbisnis?" katanya.

Jokowi diharapkan juga harus tegas karena supermasi sipil adalah satu keniscayaan sehingga penuntasan reformasi Polri tidak boleh lagi ditunda. Konflik TNI-Polri akan terus terjadi kalau posisi TNI-Polri tidak disejajarkan.

"Kalau Polri di bawah kementerian akan banyak menyelesaikan masalah, bukan seperti sekarang langsung di bawah Presiden. Kalau TNI di bawah Kementerian Pertahanan, Polri bisa di bawa Kementerian Dalam Negeri," katanya. 

Sebelumnya, Menhan Ryamizard Ryacudu kembali memunculkan wacana lama agar kepolisian berada di bawah kementerian seperti halnya TNI. Dia menilai, Polri seharusnya tak berada di bawah Presiden langsung karena Presiden sudah terlalu banyak urusan.

"Presiden itu repot loh, banyak urusannya. Dulu tentara di bawah Presiden karena panglima tertinggi itu Presiden. Tapi ada dualisme, masih ada Menteri Pertahanan, itu membantu. Tidak bisa Presiden sekarang urusin polisi, repot dia," kata Rymizard beberapa waktu lalu.

Menurut Ryamizard, di banyak negara lain, polisi berada di bawah kementerian. Karenanya, ia optimistis cepat atau lambat Polri akan berada di bawah kementerian tertentu. Meski demikian, mantan kepala staf Angkatan Darat (KSAD) pada era Presiden Megawati Soekarnoputri itu mengaku belum tahu kementerian apa yang cocok membawahi Polri.
 
"Kementerian apa itu nanti terserah Presiden lah, tapi sampai sekarang saya belum menyampaikan usulan reformasi Polri itu ke Presiden," katanya.

Editor: Surya