Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penelitian Terbaru

Peningkatan Diagnosis ADHD Ada Kaitannya dengan Strategi Marketing Perusahaan Farmasi
Oleh : Redaksi
Kamis | 11-12-2014 | 13:00 WIB

BATAMTODAY.COM - JIKA penanganan anak-anak berkebutuhan khusus menjadi ladang bisnis yang empuk, sepertinya dibuktikan dari hasil penelitian ini. Seperti gangguan perilaku lainnya, ADHD (attention defisit and hiperactivity disorder) atau gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, disebut sebagai kondisi palsu dengan tujuan menggenjot penjualan obat-obatan berharga mahal.

Awalnya ADHD, terutama hanya ada di AS, dengan 90 persen anak yang didiagnosis menyandang gangguan tersebut mendapat resep Ritalin.

Ritalin atau methylphenidate merupakan stimulan sistem saraf pusat. Obat Ini mempengaruhi zat kimia dalam otak dan saraf yang berkontribusi untuk mengontrol hiperaktivitas dan dorongan.

Kemudian penggunaannya menyebar hingga ke Eropa dan menjadi "kebutuhan global" bagi anak dengan ADHD. Dalam penelitian tersebut, dikatakan jika anak-anak dengan gangguan ini bakal diresepkan dengan Ritalin, yang disebut sebagai korban perusahaan farmasi raksasa dunia.

Pada penelitian yang Diterbitkan dalam jurnal Social Science and Medicine, peneliti mengamati peningkatan diagnosis ADHD di sejumlah negara seperti Inggris, Jerman, Perancis, Italia, dan Brasil. Peneliti menunjukkan, dari negara-negara tersebut setidaknya terdapat 15 persen resep Ritalin dalam dekade terakhir dan mengurangi pangsa AS hingga 75 persen.

Selanjutnya, pemulihan permasalahan psikologis yang yang biasanya dilakukan tanpa obat-obatan seperti melalui terapi wicara, sekarang mulai merangkul psikiatri biologis -yang tentunya mengubah kimia otak orang secara paksa melalui racun farmasi.

"Banyak psikolog dan psikiater di Eropa dan Amerika Selatan yang mengadopsi pedoman statistik dan diagnostik (Diagnostic and Statistical Manual/DSM) standar ala Ameriksa Serikat yang lebih luas dan memiliki batas bawah untuk mendiagnosis ADHD," papar peneliti melalui rilis yang dilansir Natural News.

"Kelompok advokasi ADHD yang vocal bekerja sama dengan perusahaan obat untuk mempromosikan perawatan dengan obat-obatan," tuding peneliti.

Tapi bagaimana Anda secara efektif meyakinkan bahwa mereka yang ternyata memiliki penyakit perilaku yang membutuhkan perawatan obat? Salah satu cara adalah dengan menawarkan kuesioner self-assessment online yang secara hati-hati dirancang untuk mengkategorikan perbedaan perilaku normal seperti cacat, memanipulasi pikiran orang untuk percaya bahwa mereka sakit.

Saat mencari informasi kesehatan secara online, pengguna internet semakin diarahkan ke obat-obatan dikilankan "sumber" yang mengajukan pertanyaan generik, seperti "Apakah Anda banyak gelisah?" dan "Apakah Anda sulit untuk berkonsentrasi?".

Kebanyakan orang mungkin akan setuju bahwa mereka merasa seperti itu, setidaknya untuk sementara waktu, dan dengan bodohnya menjawab "ya" atas pertanyaan tersebut dan diagnosis diri lainnya. Mereka akhirnya diteruskan ke dalam sistem dan mendaftar sebagai pelanggan obat baru untuk "penyakit" yang dibuat-buat itu.

"Checklist itu mengubah semua jenis perilaku yang berbeda dalam masalah medis," jelas Peter Conrad, seorang profesor di Universitas Brandeis, dan salah satu penulis utama studi tersebut.

"Checklist tidak membedakan apa yang merupakan bagian dari kondisi manusia dan apa yang merupakan bagian dari penyakit," imbuhnya.

Banyak orang tidak tahu bahwa mereka sedang ditipu (scammed) saat terbuai ke dalam perangkap industri obat licik itu, dan hasilnya adalah bahwa banyak dari mereka akhirnya menjadi pecandu farmasi seumur hidup. Menurut penelitian tersebut, kurang dari satu persen dari anak-anak di Inggris, misalnya, adalah berperilaku sebagai pecandu narkoba pada awal 1990-an. Tapi hari ini, sekitar lima persen dari populasi adalah berperilaku sebagai pengguna narkoba .

Di Jerman, peningkatannya bahkan lebih mencolok. Antara 1998 hingga 2008, penggunaan obat ADHD meningkat lebih dari 500 persen, meroket dari 10 juta dosis per hari menjadi sekitar 53 juta dosis per hari.

"Tidak ada obat manjur (untuk membenahi perilaku)," tambah Conrad, yang mencatat bahwa obat-obatan farmasi bukan jawaban untuk perbedaan perilaku.

"Saya pikir kita mungkin melihat kembali pada waktu ini dalam 50 tahun dan bertanya, apa yang kita lakukan untuk anak-anak ini?" tanyanya. (*)

Editor: Roelan