Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kemiskinan di Indonesia Semakin Masif

Separuh Populasi Indonesia Tergolong Miskin
Oleh : sumantri
Senin | 20-06-2011 | 10:30 WIB
Jossy_Prananta_Moeis.jpg Honda-Batam

Jossy Prananta Moeis   (Kanan) Peneliti senior LPPM FEI

Batam, batamtoday - Berdasarkan basis penghitungan internasional, kemiskinan di Indonesia sudah bersifat masif dan akut. Pasalnya, sekitar separuh dari total populasi masuk dalam kategori miskin. Selain itu, tak kurang dari 8 persen populasi sudah masuk dalam golongan kemiskinan ekstrem. Peneliti senior LPPM FE UI Jossy Prananta Moeis menyatakan kemiskinan di Indonesia bersifat masif dan akut.

"Namun, bila menggunakan garis kemiskinan internasional, 2 dollar AS paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) per jiwa per hari, ada 110 juta jiwa lebih atau sekitar setengah dari populasi yang hidup tidak layak," Ungkap Jossy Prananta Moeis, kepada batamtoday, saat berkunjung ke Batam, beberapa waktu lalu..

Ditambahkannya, selain jumlah orang miskin yang relatif tinggi, kemiskinan di Indonesia ditandai dengan adanya 5 hingga 8 persen dari penduduk yang diestimasi dari generasi ke generasi tetap miskin.

"Atau, kalau dipergunakan garis kemiskinan internasional 1 dollar AS PPP per jiwa per hari, tingkat kemiskinan ekstrem yang bersifat akut ini adalah sekitar 7 persen dari penduduk atau sekitar 15 juta jiwa," jelas Jossy.

Kondisi kemiskinan di lapangan bisa dilihat dari kemampuan daya beli per 1 dollar AS terhadap beras jenis medium sepuluh tahun terakhir atau 2001 sampai 2010. Jika per 1 dollar AS pada 2001 dapat memperoleh 3,7 kilogram beras, pada 2010 hanya 1,18 kilogram. Demikian pula kemampuan beli per dollar AS atas minyak goreng, yang pada 2001 bisa membeli 2,45 liter, pada 2010 hanya 0,79 liter.

Berdasarkaan data itu, maka untuk kembali kepada kondisi sebelumnya, yakni mampu membeli 3,7 kilogram beras atau 2,45 liter minyak goreng, standar pendapatan harus menjadi sekitar 3 dollar AS. Namun, ini hanya untuk konsumsi beras dan minyak goreng saja, belum memperhitungkan kebutuhan lainnya. Padahal, selain untuk konsumsi pangan, kebanyakan penduduk juga harus mengeluarkan biaya untuk kebutuhan lainnya.

Selain itu, tambah Jossi, kemiskinan relatif juga menunjukkan pola distribusi pendapatan dan kekayaan yang sangat timpang dan semakin timpang.

"Walaupun angka Gini (angka pengeluaran keuangan masyarakat) berdasarkan pengeluaran atau konsumsi tidak menunjukkan tingkat ketimpangan yang berarti, bahkan cenderung membaik, jika memiliki data yang baik untuk pemilikan aset, baik aset fisik maupun aset finansial, maka dapat dipastikan angka ini menunjukkan angka Gini jauh di atas 0,5 yang berarti timpang," papar Jossy.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari UI, Nining Indroyono Soesilo mengatakan, dengan mengacu pada merosotnya daya beli masyarakat atau kondisi terjadinya pengeluaran per kapita lebih kecil daripada garis kemiskinan yang ditentukan berdasarkan kebutuhan dasar (basic needs) makanan dan nonmakanan, maka jumlah orang miskin sesungguhnya bisa membengkak tiga kali lipat dari yang dilaporkan BPS, yakni menjadi sekitar 93 juta orang.

"Itu berarti sedikit saja ada guncangan seperti kenaikan harga pangan atau energi, mereka langsung jatuh miskin," katanya.

Dia menjelaskan untuk mengetahui kemampuan daya beli memang harus mengacu kepada harga kebutuhan pokok. "Itu sebabnya, selisih nilai tukar sangat berarti untuk mengetahui kemampuan orang miskin membeli kebutuhan pokok," jelas Nining.

Belum Tersentuh

Menurut Nining, angka-angka yang selama ini dipakai pemerintah sebagai rujukan bukan diambil dari kondisi riil masyarakat miskin. "Akibatnya, jumlah masyarakat yang benar-benar miskin belum tersentuh, kalau pun diambil hanya sedikit saja," katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang miskin saat ini sekitar 31 juta jiwa atau 13,33 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Jumlah ini diperoleh dari penduduk yang memperoleh pendapatan minimal rata-rata sebesar 211.726 rupiah per bulan atau sekitar 7 ribu per hari atau di bawah 1 dollar AS per hari.

Namun, jumlah orang miskin itu tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Apalagi, kebanyakan struktur pengeluaran rumah tangga terkonsentrasi pada konsumsi pangan. Artinya, pengeluaran penduduk akan terpengaruh jika harga bahan pangan melambung tinggi.