Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Guru SLB Jangan Selalu Turuti Keinginan Orang Tua
Oleh : Habibi
Kamis | 27-11-2014 | 07:30 WIB
tri gunadi.jpg Honda-Batam
Tri Gunadi. (Foto: Roelan/BATAMTODAY.COM)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Guru-guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) hendaknya tidak selalu menuruti kemauan orang tua terhadap pola pendidikan yang diajarkan kepada anaknya. Apalagi jika anak adalah penyandang retardasi mental (RM) yang memiliki intelegensi rendah.

"Guru itu harus pintar dan paham. Tugas guru adalah memberikan pemahaman kepada orang tua tentang kondisi anaknya. Jangan selalu menuruti keinginan orang tua yang anak tak mampu untuk melakukannya," kata dr Tri Gunadi Amd OT SPsi, pakar tumbuh kembang anak, pada pelatihan sensori integrasi guru pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (PK-PLK) se-Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) di Plaza Hotel Tanjungpinang, Rabu (26/11/2014).

Hal itu disampaikan Gunadi menanggapi keluhan guru terhadap sikap orang tua dengan anak penyandang RM yang memaksakan agar anaknya juga dibekali kemampuan akademik seperti anak-anak normal lainnya.

"Guru tidak untuk disuruh-suruh seperti keinginan orang tua jika anaknya sendiri tak mampu melakukannya. Karena itu, guru harus bisa memberikan pemahaman kepada orang tua," tegas Direktur Klinik Tumbuh Kembang Yamet Jakarta itu.

Menurut Gunadi, pola asuh orng tua di rumah juga banyak yang salah. Karena itu, kesalahan itu harus diperbaiki dari sekolah.

Bagi anak dengan IQ rendah ini, guru tak perlu menjejali anak dengan kompetensi kognitifnya. Yang diperlukan hanyalah membuatnya mandiri, dan bisa melakukan tugas-tugas sederhana.

"Anak-anak dengan gangguan RM ini tidak perlu diberikan pelajaran-pelajaran yang bersifat prestasi akademik atau ngotot meningkatkan intelegensinya, karena memang nggak bakalan mampu," terang Gunadi, yang juga Direktur Utama Klinik Tumbuh Kembang Anak Yamet Jakarta itu.

Gunadi menjelaskan, perlu diajarkan kepada anak-anak ini selain kemandirian adalah tugas-tugas sederhana. Karena, anak-anak RM ini lebih diarahkan untuk menjadi wiraswasta ketimbang jadi pekerja. Jika pun jadi pekerja, tugas-tugas yang dilakukan juga harus sederhana dan tidak menguras otak.

"Yang terpenting mereka bisa menghitung uang, menggunakan kalkulator, dan program pendidikannya diarahkan ke vokasional (keterampilan)," jelas Gunadi.

"Jika dipaksakan juga untuk mengarahkan kepada perkembangan intelegensinya, sama saja memaksakan anak untuk melakukan sesuatu yang dia tak mampu. Anak akan semakin stres. Jika ini berlarut-larut, sama saja anak tak mendapatkan apa-apa," imbuhnya.

Demikian juga dengan anak didik yang menyandang ADHD (attention defisit and hyperactive disroder) dan retardasi mental (RM) plus obesitas (kegemukan). Salah seorang siswa SLB Negeri Tanjungpinang ada yang menyandang gangguan tersebut.

"Guru juga harus menertibkan orang tua. Pola asuh yang salah justru akan menjerumuskan anaknya sendiri," tegas Gunadi.

Orang tua, menurut penuturan guru, selalu berpesan agar si anak jangan sampai telat makan dalam satu jam. Padahal, kata Gunadi, obesitas membuat aktivitasnya menjadi lamban dan menyebabkan kemampuan berpikirnya juga lamban.

"Guru harus tegas dengan orang tua. Jika ingin anaknya menjadi lebih baik, hindari makanan yang berlebihan. Jangan setiap memberikan anak makanan. Otak anak harus dilatih. Sudahlah RM, ADHD, obesitas pun dibiarkan. Ini sudah salah!" tegas Gunadi lagi. (*)

Editor: Roelan