Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Seluruh Masyarakat Diminta Jadi Anggota BPJS pada 2015
Oleh : Surya
Sabtu | 15-11-2014 | 08:03 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua Tim Sistem Jaminan Nasional Bambang Sulastomo menegaskan, seluruh warga negara Indonesia harus menjadi anggota Badan Penyelenggaa Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan baik orang miskin maupun kaya.

Sehingga terjadi subsidi silang untuk jaminan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sesuai amanat konstitusi yang mengedepankan gotong royong.

"Seluruh warga negara harus masuk sebagai anggota BPJS Kesehatan, dan seharusnya Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau kartu sakti itu  diintegrasikan ke dalam BPJS Kesehatan, bukan dipisah seperti sekarang," Bambang dalam diskusi 'Pro-kontra kartu sakti dan jaminan sosial’ bersama Huzna Zahir dari YLKI dan Nafsiah Arifuzzaman (Ketua Program Studi Kesejahteraan Masyarakat) UIN Syahid Jakarta, di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Jumat (14/11/2014).

Bambang  berharap pada 2015 nanti semua warga negara menjadi anggota BPJS Kesehatan, yang kini telah mencapai 120 juta orang. Apalagi sampai saat ini banyak program Jamkesemas yang belum berjalan dengan baik.

"Seharusnya, KIS itu diintegrasikan ke dalam BPJS Kesehatan, mengingat ngurus orang miskin perlu bantuan orang yang kaya," katanya.

Sedangkan Huzna Zahir dari YLKI mengatakan, semua kartu tersebut sebenarnya tidak tumpang-tindih dengan program yang lain.

"Banyak program makin baik untuk memperluas jangkauan, asal tidak tumpang-tindih. Misalnya adanya penolakan oleh pihak rumah sakit tertentu itu akibat ada pembayaran-pembayaran yang memberatkan masyarakat," kata Husna.

Jika ada penolakan pasien dan ada pembayaran-pembayaran tambahan itu, katanya,  sudah diatur dengan kesepakatan yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

"Semua ada prosedurnya, dan ketidaksinkronan dan ketidakjelasan informasi itulah yang harus disosialisasikan ke masyarakat, agar tidak membingungkan," katanya.

Sementara itu,  Nafsiah Arifuzzaman dari UIN Jakarta menegaskan jika kartu sakti pemerintahan Jokowi-JK yang diluncurkan beberapa waktu lalu itu lebih politis, dibanding melakukan pemberdayaan masyarakat. Seharusnya, sebelum diluncurkan, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) itu disosialisasikan terlebih dahulu, agar masyarakat tidak bingung.

"Tanpa sosialisasi, masyarakat bingung dengan kartu sakti yang baru diluncurkan oleh Presiden Jokowi itu, karena sebelumnya sudah ada BPJS Kesehatan, Jamkesmas, Askes, dan lain-lain. Saya melihat ini lebih politis, karena diluncurkan bersamaan akan dinaikkan harga BBM," kata  Nafsiah.

Selain itu, berdasarkan fakta di masyarakat terjadi pro dan kontra antara lain yang harus dijelaskan oleh pemerintah, jika program kartu saktu itu benar-benar bertujuan baik. Sebab, yang namanya sakti itu peran negara mempunyai tiga kewajiban utama yaitu masyarakat yang sehat, sejahtera dan pintar.

"Jadi, memang peluncuran kartu sakti itu tergesa-gesa, nyaris tak ada koordinasi di internal pemerintah sendiri, sehingga jawabannya kepada masyarakat berbeda-beda," katanya.

Ia menilai,  masyarakat menerima informasi sebelum mengetahui segala hak-hak dan konsekuensinya. Namun dengan kartu sakti itu pemerintah justru menciptakan ketergantungan, karena sifatnya langsung tunai (cash). Sama halnya dengan BLT, PNPM Mandiri dan lainnya, hanya ganti nama.

"Jadi, tidak ada unsur pemberdayaan, tak ada edukasi, tak ada impowerment. Tapi, kalau pemerintah yakin kartu sakti itu baik, maka pemerintah harus konsisten, dan bukannya untuk menutupi isu kenaikan harga BBM," katanya.

Lembaga penyelenggara kartu sakti tersebut, kata Nafsiah, juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah jangan sampai anti kritik.

"Kalau memang baik, ya harus dilanjutkan dengan melakukan sosialisasi, edukasi, dan sebisa mungkin ada pemberdayaan, agar tidak membingungkan masyarakat," katanya.

Editor : Surya