Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Terkait Konflik KMP vs KIH, F-PKB Ingin ada Win-win Solution
Oleh : Surya
Jum'at | 14-11-2014 | 08:04 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta -  Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) berharap ada win-win solution dalam konflik antara Koalisi Merah Putih (KMP) versus Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam pembagian kursi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD).



Diharapkan ada pembagian secara proporsional dengan mengedepankan musyawarah mufakat agar konflik tidak berkepanjangan sehingga bisa mengganggu kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wapres Jusuf Kalla (JK) dalam mensejahterahkan rakyat.

 "Soal  21 kursi yang ditawarkan KMP, kita sependapat. Boleh dibagi secara proporsional atau dibagi rata di 5 fraksi silakan saja," Ketua FPKB DPR A Helmy Faishal Zaini kepada pers di Jakarta,   Kamis (13/11/2014).

Helmy yang didampingi Sekretaris F-PKB Jazilul Fawaid, Sekjen PKB Abdul Kadir Karding, Ketua DPR  Tandingan Ida Fauziah dan Ketua F-PKB MPR Lukman Edy meminta, agar konflik KMP dan KIH disudahi saja, tidak perlu diperpanjang lagi agar ada win-win solution.

"Sekarang yang diperlukan adalah mengedepankan musyawarah-mufakat  agar  tercapai win-win solution.  Kami berharap masalah KIH dan Koalisi Merah Putih (KMP) ini secepatnya selesai," katanya. 

Win-win solution itu, kata Helmy, kembali pada sipirit UUD 1945, semangat NKRI dan cita-cita pendiri bangsa. Sehingga segera terjadi kristalisasi kesepakatan yang bisa diterima semua pihak dan DPR RI bisa bekerja dengan baik. Karena itu, FPKB memohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas DPR yang belum bisa menjadi wakil rakyat yang diharapkan.

Menurutnya, yang lebih penting lagi adalah  melakukan revisi pasal 98 ayat 6,7 dan 8 Undang-undang MD3 (MPR,DPR,DPD dan DPRD). Pasal-pasal itu, harus direvisi  karena sistem  pemerintahan Republik Indonesia menganut sistem presidensil, bukan parlementer. 

Sementara pasal-pasal tersebut justru memberikan kekuasaan terlalu besar pada DPR RI sehingga menyebabkan terjadinya sistem parlementer.

"Penguatan sistem presidensil itu merupakan bagian dari sejarah dalam membangun bangsa ini. Bagaimana putusan komisi-komisi DPR bisa dijalankan kalau tidak bersama pemerintah,” ujarnya.

Lebih jauh Helmy menilai, hak interpelasi yang diajukan oleh komisi-komisi DPR terhadap pejabat pemerintah itu tidak lazim dalam UUD 1945 sendiri.

"Itu berarti kita menerapkan sistem parlementer, bukan presidensiil," kata mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini. 

Editor : Surya