Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Di Pulau Bintan, 'Warna' Melayu Disebut Mulai Pudar
Oleh : Harjo
Selasa | 16-09-2014 | 17:12 WIB
M Yusuf Petualang asal Riau berkeliling Indonesia mengunakan sepeda ontel.JPG Honda-Batam
M Yusuf, petualang dengan sepeda ontel asal Kuantan Seingingi. (Foto: Harjo/BATAMTODAY.COM)

BATAMTODAY. COM, Tanjunguban - Kalimat 'Tak Melayu Hilang di Bumi', di Pulau Bintan terkesan hanya tinggal sebuah penggalan kata tanpa makna. Karena kenyataannya di lapangan menunjukkan hal demikian. Terutama dari sisi sosial, seperti masalah tutur kata, tegur sapa serta tata cara berpakaian, justru tidak terlihat lagi, terutama di wilayah Tanjungpinang dan Bintan.

"Sejak berpetualang dari Kuantan Sengingi menyusuri Sumatera, Jawa, Bali, Papua, Sulawesi, Kalimantan hingga sampai di Kepulauan Riau, khususnya di Tanjungpinang dan Bintan, terkesan kepribadian dan adat Melayu yang kental dengan adat ketimuran nyaris sirna," ujar M Yusuf,  pengeliling Indonesia dengan sepeda ontel, kepada BATAMTODAY.COM di Tanjunguban, Selasa (16/9/2014).

Dia mencontohkan di Tanjungpinang dan Bintan, di beberapa pusat perdagangan tradisional hingga modern, pengunaan bahasa daerah Melayu bahkan bahasa persatuan Indonesia pun hanya sekali-kali terdengar. Yang terdengar justru bahasa yang bukan Indonesia dan juga Melayu.

Selain itu, dia menilai, keramahtamahan yang secara otomatis menyangkut tutur kata, antara satu dengan lainnya juga tidak tergambar kalau daerah ini dulunya pernah kental dengan adat ketimuran.

"Persaingan yang tidak sehat satu dengan yang lainnya dalam sebuah pergaulan pun justru menjadi tontonan. Bisa jadi apa yang terjadi tidak disadari oleh masyarakat yang ada di daerah ini. Karena dengan kesibukan dan hiruk-pikuknya di dunia bisnis dan politik. Sehingga adat istiadat yang sebenarnya terlupakan," imbuhnya.

Hiruk-pikuknya dunia bisnis dan politik yang menjadi tontonan hampir di seluruh media massa, kata dia, bisa jadi contoh kurang baik sehingga generasi muda yang masih polos, secara tidak langsung hanyut dalam sebuah peradapan tersenbut. Dengan demikian ujung peradaban yang mengantar negeri ini jaya, secara perlahan tenggelam di makan zaman.

Ada istiadat bumi Melayu, yang dulunya menjadi sebuah pegangan dan acuan bagi masyarakat, seharus tetap terjaga dengan baik, walau pun kerasnya budaya asing akan menembus dan menghilangkan suatu peradaban yang sudah tertata rapi bahkan menjadi sumber sebuah kejayaan masa lampau. Para pemuka masyarakat, setidaknya bisa menyadari betapa konyolnya, kalau melupakan adat-istiadatnya sendiri dan yang sudah dibangun oleh generasi sebelumnya.

Alumnus Universitas Riau tahun 1991 ini menambahkan, apa yang telah terjadi di tengah masyarakat Melayu saat ini adalah sebuat kelalaian hingga bisa diperdaya oleh budaya asing dan melupakan budaya yang sudah dimiliki oleh masyarakat di bumi Melayu sebenarnya.

Setidaknya, walaupun sebuah kebudayaan asli ini nyaris punah, tetapi semua pihak harus sadar dan berupaya untuk memberikan contoh yang baik kepada generasi penerusnya. Sehingga generasi muda tidak gampang terpengaruh oleh budaya yang kurang baik.

"Budaya asing bukan tidak boleh diadopsi karena tidak semua negatif, tetapi adat dan budaya asli yang sudah baku juga tidak ditinggalkan. Sehingga masuknya budaya asing ada filternya dan tidak serta merta diterima. Karena kalau serta merta diterima jelas akan membawa ke arah yang tidak baik, bahkan bisa jadi menjadi awal sebuah kehancuran," tegasnya.

Yusuf  juga menuturkan, pertualangannya untuk menembus seluruh wilayah di Indonesia, selain memiliki misi mengkampanyekan polisi masyarakat (Polmas), pemanasan global, budaya membaca dan bersepeda itu sehat, tapi juga ingin menunjukkan ke dunia bahwa masyarakat Melayu bukan masyarakat yang cegeng apalagi malas. Tetapi orang Melayu  yang siap untuk berjuang guna memperoleh apa yang dicita-citakan. 

"Bisa dibayangkan, kalau sejak dini sudah mengenal pergaulan yang salah dan lepas kontrol, maka akan berujung tidak ada etika dan moral. Kalau itu terjadi maka krisis kepercayaan antara masyarakat, tokoh dan pemangku jabatan di negeri secara otomatis akan hilang dangan sendirinya," tambahnya.

Lebuh jauh disampaikan, mulai krisis moral dan ditinggalkannya adat istiadat oleh sebagian besar masyarakat di daerah ini memang tidak ada yang perlu dipersalahkan. Tetapi setidaknya bisa mengingatkan agar seluruh masyarakat tidak terlena dan lupa dengan adat dan istiadat yang telah mengantarkan kejayaan negeri ini.

Setidaknya ahlak dan moral serta etika di tengah masyarakat masih tetap terjaga, agar generasi penerus bangsa ini masih bisa melihat contoh yang baik, sebagai salahsatu panduan untuk membawa bangsa ini kearah yang lebih berkembang dan maju, namun didasari dengan ahlak dan moral yang baik, sehingga kemajuan tersebut tidak ada yang dimerasakan manjinalkan. (*)

Editor: Roelan