Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pilkada oleh DPRD Dinilai Sebagai Perampasan Hak Konstitusi Rakyat
Oleh : Redaksi
Selasa | 09-09-2014 | 09:52 WIB

BATAMTODAY.COM - Pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Panja DPR RI berjalan alot terkait pemilihan gubernur dan bupati/wali kota secara langsung atau tidak langsung (dipilih oleh DPRD).

Forum Akademisi IT (FAIT) memiliki sikap berbeda dan menolak Pilkada dilakukan oleh DPRD. "RUU Pilkada ini sebaiknya dihentikan, karena tidak sejalan dengan semangat reformasi dan otonomi daerah," sebut Ketua Umum FAIT, Hotland Sitorus melalui rilisnya, Selasa (9/9/2014).

Pasca-reformasi 1999, Pilkada merupakan keputusan politik yang disahkan MPR RI tanggal 18 Agustus 2000 melalui perubahan kedua terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) yang melahirkan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22E ayat (1) yang mengamanahkan Pilkada dilakukan secara demokratis dan secara langsung.

"RUU Pilkada yang sedang dibahas saat ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 45 yang memberikan kesempatan dan ruang persaingan yang sama bagi masyarakat untuk ikut dalam sirkulasi elit lokal," kata Hotland.

"DPRD adalah perwakilan hak-hak politik rakyat, bukan hak konstitusional. Apabila Pilkada diserahkan kepada DPRD, maka telah terjadi perampasan hak konstitusi rakyat," tambahnya.

Bercermin dari kajian yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI) edisi 3 Juli 2007, terjadi kegagalan parpol mempertahankan basis suaranya. Lebih dari separuh wilayah yang melangsungkan pemilukada terjadi kekalahan partai pemenang Pemilu Legislatif (Pileg). Dari 296 pilkada hingga Desember 2006, hanya 43,1 persen wilayah yang dimenangkan oleh calon kepala daerah yang diusung oleh pemenang Pemilu Legislatif, sedangkan sisanya 56,9 persen dimenangkan oleh yang bukan pemenang Pileg.

"Hasil survei LSI tersebut menjelaskan bahwa hasil Pemilukada tidak akan selalu sebangun dengan hasil Pileg sebelumnya. Pelaksanaan Pilkada langsung oleh rakyat merupakan usaha mewujudkan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif di daerah karena keduanya dipilih oleh rakyat," ungkap Sekjen FAIT, Janner Simarmata.

"Opini yang berkembang bahwa biaya pemilukada mahal dan sering terjadi kerusuhan yang mewarnai pemilukada sebagai alasan Pilkada diserahkan kepada DPRD sangat tidak tepat. Seharusnya dicari solusi untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut, bukan memasung hak konstitusi rakyat," lanjutnya.

Sebagaimana diketahui, enam Parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sepakat dengan opsi Pilkada dilakukan oleh DPRD.

"Rakyat kini dapat menilai, partai-partai mana yang sebenarnya berpihak kepada rakyat dan partai-partai mana yang pura-pura berpihak kepada rakyat," pungkas Janner.

Editor: Dodo