Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Budaya Maritim
Oleh : Redaksi
Kamis | 28-08-2014 | 10:19 WIB
nelayan tradisional.JPG Honda-Batam
Ilustrasi.

Harus ada revolusi budaya untuk mengantarkan bangsa Indonesia menuju pintu gerbang kejayaannya sebagai negara maritim.

ANAK bangsa yang hidup di negeri maritim, tapi tidak bisa berenang. Apakah itu bukan sebuah ironi? Itulah salah satu bukti nyata dari keberhasilan ekspansi tentara Portugal yang merebut Selat Malaka termasuk Tumasik alias Singapura dari wilayah Kerajaan Sriwijaya pada tahun 1511.

Sejak itu, budaya maritim anak bangsa ini terus mengalami kemunduran dahsyat. Penguasaan atas laut mereka sendiri pun semakin rapuh. Apalagi, untuk mengeksploitasi kekayaan di dalam laut dan mengeksplorasi dasarnya. Dan yang lebih miris lagi adalah, hilangnya budaya maritim serta kecintaan mereka pada laut. Bahkan, untuk sekadar berenang saja pun mereka tidak bisa. Alamak.
 
Bayangkan, bagaimana ekspresi wajah kesedihan nenek moyang anak bangsa ini, yang pada abad kedua lalu, mereka yang berlayar dari Bugis, Dayak, Sumatera Selatan, Banten, Ternate, Aceh, Melayu, Sumatera Barat dan sebagainya, sudah menguasai luasnya laut nusantara. Bahkan, diantara mereka sudah ada yang sampai menjejakkan kaki di bumi Madagaskar. Pada saat itu, belum lagi terdengar sepak terjang pelaut Eropa. Ke mana spirit para nenek moyang kita itu, kini? Apakah sudah mati bersama rapuhnya semangat anak bangsa ini dalam mengarungi lautnya sendiri?

Padahal sesungguhnya, masa depan negara ini berada di lautnya. Bukan berarti, ini dimaksudkan untuk mematikan tradisi bangsa Indonesia sebagai negeri agraris. Tidak. Karena, siapa yang melarang tradisi bahari jalan beriringan dengan tradisi agragis? Itulah kekayaan yang dianugerahkan Tuhan kepada bangsa ini sebagai modal sangat berharga. Modal yang akan mengantarkan bangsa ini akan bangkit menjelma menjadi negara besar dan kaya raya. Dengan catatan, modal berharga itu baru akan berarti jika dikelola oleh anak bangsanya sendiri yang cinta pada baharinya.  

Memang, untuk mengembalikan spirit bahari itu tidak bisa serta merta. Harus dimulai dari sekarang, massif dan terstruktur. Seperti pernah dikampanyekan oleh mantan Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla RI), Laksdya TNI (Pur.) Yosaphat Didik Heru Purnomo. Anak bangsa ini harus bisa berenang, tidak hanya di kolam renang, tapi di alam terbuka, laut, sungai atau danau. Kemampuan berenang harus menjadi pendidikan wajib di setiap jenjang pendidikan. Kalau perlu, harus dibangun tradisi perlombaan berenang antar pulau.

Di Provinsi Kepri, dengan ribuan pulaunya yang tersebar, mengapa tidak ada tradisi lomba renang antar pulau. Jika di beberapa negara ada kegiatan olah raga triathlon antar pulau, seharusnya di Kepri pun juga ada tradisi lomba renang antar pulau itu. Misalnya, dari Pulau Bintan menuju Pulau Penyengat. Dari Pulau Batam ke Pulau Setokok. Atau, dari Pulau Batam ke Pulau Bintan. Bahkan, kalau bisa ada lomba berenang antar negara. Berenang dari Pulau Batam menuju Singapura. Atau, dari Singapura menuju Lagoi. Bisa juga, berenang dari Pulau Nipah menuju Singapura.

Sehingga, jika sudah tumbuh rasa cinta anak bangsa ini pada lautnya, maka sejumlah agenda besar bisa digagas. Yang pada ujungnya adalah mengembalikan kejayaan anak bangsa ini di wilyah lautnya sendiri. Sehingga ribuan kapal ikan asing yang mencuri ratusan triliun dari laut negara ini, akan balik kanan. Karena mereka akan terus mengekploitasi kekayaan alam dari laut negara ini, selama anak bangsanya tidak mengurus laut mereka. Itulah perlunya revolusi budaya untuk mengembalikan kejayaan maritime para pendahulunya. *

Saibansah Dardani, Redaktur Senior BATAMTODAY.COM dan Sekretaris PWI Kepri