Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mereka-reka Kabinet Jokowi-JK

Bagi-bagi Kekuasaan atau Koalisi dengan Rakyat
Oleh : Redaksi
Kamis | 14-08-2014 | 16:06 WIB
Edy.jpg Honda-Batam
Edy Mulyadi, Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDeS).

Oleh : Edy Mulyadi

BEBERAPA HARI SILAM, Jokowi menyatakan keinginannya kabinet bersih dari orang Parpol. Hati terasa adem tentrem mendengar pernyataan yang sepertinya menegaskan kembali komitmennya saat kampanye Capres. Beberapa bulan silam, mantan Walikota Solo itu memang sesumbar tidak akan ada acara bagi-bagi kursi dalam penyusunan kabinet.

Mudah-mudahan Jokowi mau belajar dari sejarah. Setelah 16 tahun reformasi, praktik 'dagang sapi' membuat Indonesia tidak kunjung terbang. Buat para elit, berkuasa berarti menumpuk dan menggelembungkan pundi-pundi yang digunakan untuk kembali melanggengkan kekuasaan.

Perkara nasib dan kesejahteraan rakyat, itu urusan nomor 248 (saking ga pentingnya, hehehe...). Ide Jokowi agar menteri lepas dari pengurus Parpol memang belum jelas bentuknya. Tapi sudah bisa dipastikan, kalau gagasan ini menggelinding dengan mulus, maka bakal menjegal sejumlah kader partai yang dianggap potensial jadi menteri. Mereka antara lain Tjahjo Kumolo, Puan Maharani, dan, tentu saja, Muhaimin Iskandar.

Politik, di Indonesia, memang lucu sekaligus naif. Ketika arah angin kemenangan makin kencang berhembus ke kubu Jokowi-JK, maka sejumlah orang sibuk ancang-ancang. Mereka yang merasa pantas masuk lingkaran kabinet, mulai mematut diri. Ada yang norak dan vulgar, juga ada yang cool dan menempuh cara-cara smart.

Bolak-balik molor
Jokowi dan tim Rumah Transisinya, bisa jadi, kini tengah sibuk berkutat menyusun kompoisi kabinet dan siapa saja yang layak masuk. Begitu serunya pemberitaan seputar soal ini, hingga publik mungkin lupa memerhatikan satu hal, Jusuf Kalla.

Kenapa tokoh yang akrab disapa JK ini terlihat anteng-anteng saja? Beberapa hari lalu, dia diketahui justru asyik berlibur bersama anak dan cucunya ke Amerika Serikat. Ada yang bilang, dia liburan, belanja-belanja, dan general check up rutin. Seolah-olah dia tidak peduli dengan siapa akan menjadi apa di kabinetnya kelak.

Benarkah demikian? Satu hal yang pasti, dalam foto-fotoya yang beredar di media sosial, ada Sofjan Wanandi dalam rombongan JK. Pertanyaannya, sejak kapan pentolan CSIS dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu  jadi keluarga besar JK? Atau, jangan-jangan mereka tengah mematangkan susunan dan personel kabinet?

Untuk menjawab pertanyaan ini, baiknya kita mundur pada tahun 2004. Saat itu, bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dia dipercaya menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kita tahu, SBY memperkenalkan tradisi baru rekrutmen menteri.  Di tangan SBY, memilih menteri berubah menjadi sinetron yang heboh. Ada pemanggilan ke Cikeas untuk wawancara, ada tes kesehatan, juga ada fit and proper test.

Apa yang dilakukan JK saat itu? Sepertinya almost nothing! Dia cuek bebek, (seolah-olah) tidak peduli. Tapi, apa yang terjadi di ujung cerita? Pengumuman susunan kabinet yang direncanakan pukul 15.00, ternyata harus berkali-kali molor. Waktu itu, petugas protokol menyatakan pengumuman akan dilakukan pukul 16.00.Tapi, ternyata ngaret. Lalu,  dijanjikan pukul 20.00. Eh, lagi-lagi tertunda. Kemudian, akan disampaikan pukul 22.00, ternyata meleset lagi. Keruan saja wartawan yang sudah stand by sejak siang jadi kesal dan menggerutu.

Baru setelah menjelang tengah malam, kabinet yang ditunggu-tunggu pun akhirnya diumumkan. Hasilnya, kabinet supergemuk yang sarat dengan kepentingan dan praktik 'dagang sapi'. Dari sisi kinerja, maaf, di bawah banderol.

Menyalip di tikungan
Sebetulnya, apa yang terjadi hingga penundaan harus berkali-kali dilakukan? Di sinilah JK punya peran dahsyat. Pria asal Bugis yang kemudian menjadi Ketum Partai Golkar satu ini memang beda. Dia punya seabrek kelebihan ketimbang tokoh ecek-ecek yang lain.

Keunggulan utama JK adalah keahliannya dalam 'menyalip di tikungan'. Orang lain, bahkan termasuk presiden sekali pun, boleh saja sibuk dan heboh mempersiapkan ini-itu. Tapi last minute, JK tiba-tiba mampu muncul sebagai pemenang. Itulah yang dilakukannya pada penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1.

Sebagai orang kawasan Timur, pada awalnya JK bisa berperan lebih Jawa daripada orang Jawa. Dia senyum-senyum, inggah-inggih, dan penurut. JK seolah-olah membiarkan SBY sibuk dengan mainan barunya, fit and propers test para calon menteri. Lagi pula, bukankah konstitusi memberi Presiden hak prerogatif menyusun kabinet?

Tapi, JK mulai melancarkan jusur-jurus mautnya beberapa saat menjelang susunan kabinet diumumkan. Saat itulah dia menyodorkan sejumlah nama yang diinginkannya.  Tentu saja, apa yang dilakukannya itu bagai mengacak-acak rambut yang sudah disisir rapi. Tapi, di sinilah kehebatan JK. Dengan berbagai dalih, dia mampu meyakinkan SBY (baca:  fait acompli) untuk menerima nama-nama yang disorongkannya.

Saat itu SBY memang seperti dihadapkan pada situasi apa boleh buat. Ngeyel berdebat apalagi menolak usulan JK, akan memperpanjang waktu penundaan pengumuman. Yang lebih buruk lagi, publik bisa saja menuding pasangan SBY-JK sudah pecah sejak awal. Sebagai safety player dan pemuja citra, tentu saja SBY sangat menhindari kesan seperti ini.

Akhirnya, dengan pertimbangan akan dilakukan reshuffle setelah 6 bulan atau selambatnya setahun kemudian, SBY 'terpaksa' menyetujui komposisi dan personel kabinet versi JK. Tentu saja, ada kompromi di sana-sini. Tapi, apa pun, saat itu JK sudah keluar jadi pemenang.

Dengan susunan personel kabinet versi JK itu, bandul pembangunan ekonomi Indonesia semakin bergerak ke kanan. Aroma neolib amat kental dengan duduknya sejumlah nama yang memang sudah sejak lama dikenal sebagai komparador Barat, khususnya IMF dan Bank Dunia.

Indonesia kembali sibuk mengejar pertumbuhan dan abai dengan pemerataan. Selama lima tahun pertama (ditambah lima tahun kedua) pemerintahan SBY, pertumbuhan lebih banyak disebabkan blessing faktor ekseternal. Pertama, harga komoditas primer, termasuk hasil tambang, terus meroket. Kedua, dana asing dari negara-negara maju mengalir deras ke Indonesia. Maklum, di tempat asalnya tengah terjadi kelesuan ekonomi.

Sayangnya kendati dapat berkah dari faktor eksternal, pertumbuhan ekonomi hanya berkutat di angka 5,5-6%. Padahal dengan tambahan sedikit kretivitas dan kebijakan terobosan, niscaya ekonomi bisa dipacu tumbuh dua dijit.
Koalisi dengan rakyat.

Kalau tidak hati-hati, Jokowi bisa mengulangi kesalahan SBY dalam menyusun kabinet. Di tengah lingkaran para penumpang gelap, Jokowi tidak mustahil bakal 'dipaksa' setuju dengan praktik 'dagang sapi' yang jadi tradisi kekuasaan di sini.

Kalau pun dia berhasil lolos dari 'tekanan para petinggi parpol pendukung, ancaman yang tidak kalah serius justru datang dari JK sendiri. Bisa saja tokoh gaek ini mencoba mengulang kembali suksesnya menelikung SBY.

Untuk itu, meminjam istilah ekonom senior Rizal Ramli, cuma ada dua pilihan bagi Jokowi. Pertama, bagi-bagi kekuatan dengan elit. Pilihan ini membawa konsekwensi rakyat kecewa karena tidak akan pernah ada perubahan. Kedua, berkoalisi dengan rakyat dan meninggalkan elit negeri ini.

Seharusnya Jokowi memili berkoalisi dengan rakyat. Dengan begitu dia bisa melawan dominasi serta hegemoni para elit politik dan ekonomi. Caranya,  pertama, jangan masukkan penganut dan pejuang mazhab neolib ke dalam kabinet. Kedua, buat kebijakan di bidang ekonomi yang berdasar konstitusi dan berpihak kepada rakyat.

Penyebab utama timpangnya kesejahteraan rakyat Indonesia adalah karena suburnya ekonomi rente. Kebijakan kuota impor adalah lahan subur bagi lahirnya berbagai mafia. Ada mafia migas, mafia gula, kedelai, daging, migas, dan lainnya. Kalau kebijakan ini dihapus dan diganti dengan sistem tarif, maka ekonomi berkeadilan akan terwujud.

Jika langkah ini dilakukan, sudah bisa dipastikan Jokowi akan (kembali) mendulang simpati dan dukungan rakyat. Betapa tidak, harga berbagai kebutuhan yang selama ini dikuasai kartel akan turun dengan signifikan. Gula bisa anjlok hingga 70%, daging melorot sampai 80%, dan kedelai turun sekitar 30%.

Dan yang yang tidak kalah kerennya, dengan memberantas mafia migas, pemerintah tidak harus menaikkan harga minyak dengan dalih mengurangi subsidi dan mengamankan APBN. Pembohongan publik atas nama subsidi BBM sudah semestinya dihentikan. (*)

Penulis adalah  Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDeS)