Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

30 Persen Hutan Hujan Kalimantan Musnah Sejak 1973
Oleh : Redaksi
Sabtu | 19-07-2014 | 09:35 WIB
borneo-road-plantation-map1.jpg Honda-Batam
Borneo road plantation map.

BATAMTODAY.COM - LEBIH dari 30 persen dari hutan hujan di Kalimantan (Borneo) telah hancur selama empat puluh tahun terakhir karena kebakaran, industri penebangan, dan penyebaran perkebunan. Demikian temuan studi baru yang menyediakan analisis yang paling komprehensif dari tutupan hutan di pulau itu sampai saat ini.

Seperti yang diwartakan mongabay.com, penelitian yang diterbitkan dalam jurnal akses terbuka PLoS ONE, menunjukkan bahwa lebih dari seperempat hutan dataran rendah Kalimantan tetap utuh.

Penelitian yang melibatkan tim peneliti internasional yang dipimpin oleh David Gaveau dan Erik Meijaard, didasarkan pada data satelit dan foto udara. Pendekatan itu memungkinkan para peneliti untuk memisahkan hutan tanaman industri dari hutan alam yang ditebang secara selektif, sementara juga memetakan sejauh mana jalur pnebangan pada berbagai ketinggian, membedakan antara hutan dataran rendah yang sangat terancam punah dan hutan-elevasi tinggi tidak dapat diakses.

Hasilnya memang cukup serius untuk konservasi: keutuhan hutan dataran rendah, yang merupakan rumah keanekaragaman hayati dan menyimpan jumlah karbon terbesar di dunia, menurun sebesar 73 persen selama periode tersebut. Sebanyak 34 persen dari hutan tersebut ditebang secara selektif, sementara 39 persen ditebang habis -biasanya dikonversi menjadi perkebunan industri untuk memasok dunia dengan minyak sawit, kertas, dan kayu.

Sabah, negara bagian paling timur di Malaysia, memiliki proporsi tertinggi dari hilangnya hutan dan degradasi, dengan 52 persen dari hutan dataran rendah yang dibersihkan dan 29 persen ditebangi. Hanya 18 persen dari hutan dataran rendah negara tetap utuh, menurut penelitian ini.

Kehilangan terbesar hutan di Indonesia disumbang lebih dari 72 persen oleh Kalimantan. Kalimantan kehilangan agregat seluas 123.941 kilometer persegi selama periode tersebut, sementara Sabah (22.865 km persegi), Sarawak (21.309 km persegi), dan Brunei (378 km persegi).

Dalam hal persentase, Sabah kehilangan 40 persen hutannya, Kalimantan 31 persen, Sarawak 23 persen, dan Brunei 8 persen. Secara keseluruhan, hutan Kalimantan sedang dihancurkan dua kali lipat tingkat dari sisa hutan hujan dunia.

Penelitian ini menemukan bahwa produksi komoditas merupakan pendorong penting deforestasi di Kalimantan. Degradasi hutan dimulai dengan jalur penebangan, yang memberikan akses ke daerah-daerah terpencil untuk ekstraksi kayu.

Setelah kayu berharga telah dipanen, hutan dapat dibuldoser untuk perkebunan industri. Studi ini menemukan bahwa hutan pegunungan yang tidak dapat diakses sekarang sedang ditebangi dan dikonversi untuk perkebunan.

"Konversi hutan meliputi pembukaan hutan untuk membangun industri perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis), dan untuk tingkat yang lebih rendah akasia (Acacia spp) dan pohon karet (Hevea brasiliensis)," kata para penulis. "Pada tahun 2010, luas tanaman perkebunan di industri kelapa sawit dan hutan tanaman adalah 64.943 km persegi dan 10.537 km persegi, masing-masing, mewakili 10 persen dari Kalimantan."

Para penulis memperkirakan bahwa jalur penebangan sejauh 271.819 kilometer telah dibuka antara 1973 - 2010 atau setara dengan 58 kali perjalanan antara New York dan San Francisco. Kepadatan jalur penebangan di Kalimantan juga 16 kali lebih besar daripada di cekungan Kongo.

Meskipun mudah tersesat dalam angka, studi ini menegaskan dampak kemanusiaan yang berat adalah memiliki pada hutan hujan Kalimantan, yang sampai 50 tahun yang lalu dianggap beberapa yang paling liar dan paling murni di planet ini, rumah bagi suku-suku nomaden dan populasi besar orangutan, gajah kerdil, dan badak.

Hari ini tradisi suku-suku 'semua tapi hilang, badak berada di ambang kepunahan, dan orangutan dan gajah yang terancam punah. Sementara hutan Borneo telah beralih dari menjadi penyerap karbon bersih, menyerap gas rumah kaca dari atmosfer, sebuah sumber, dengan penggundulan hutan dan kebakaran berkontribusi terhadap perubahan iklim. (*)

Editor: Roelan