Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jika Bukan Vaksin, Apakah Penyebab Autisma?
Oleh : Redaksi
Selasa | 08-07-2014 | 13:59 WIB

BATAMTODAY.COM - VAKSINASI telah dikabarkan ada kaitannya dengan autisma  selama hampir 25 tahun. Namun sebuah analisis terbaru dari 67 penelitian menunjukkan tidak ada bukti ilmiah untuk klaim tersebut. Di samping itu juga menunjukkan efek samping dari vaksinasi yang sangat jarang.

Penelitian oleh pemerintah federal AS itu diterbitkan pada Selasa dalam jurnal Pediatrics.

"Kekhawatiran tentang keamanan vaksin telah menyebabkan beberapa orang tua untuk menolak vaksinasi yang dianjurkan untuk anak-anak mereka, yang diduga menyebabkan kebangkitan penyakit," kata studi penulis pembantu, Dr Courtney Gidengil, dokter anak di Rand dan Rumah Sakit Boston Anak, dalam laporannya.

"Laporan ini harus memberikan orang tua beberapa kepastian," katanya seperti dilansir Medical Daily.

Orang tua bisa tenang jika mengetahui bahwa vaksin tidak harus menjadi perhatian utama mereka, tapi mungkin karena harus dilihat teori lain tentang mengapa diagnosis autisma meningkat tiap tahun. Saat ini, tidak ada penyebab pasti autisma, tapi itu berlaku umum dalam komunitas medis bahwa pelakunya mengalami kelainan pada struktur otak atau fungsi dalam tahap perkembangan awal pada anak-anak.

Kemungkinan penyebab autisma:

1. Paparan lingkungan, seperti paparan pestisida pralahir. Ada 60 persen peningkatan risiko bagi perempuan di trimester ketiga mereka yang tinggal dekat dengan peternakan atau padang terbuka di mana pestisida dapat segera digunakan, menurut sebuah studi baru-baru ini.

2. Usia kelahiran Ibu 40 tahun ke atas memiliki risiko 50 persen lebih besar memiliki anak dengan autisma dibandingkan dengan wanita berusia 20-an, menurut Asosiasi Nasional Autisma.

3. Eksposur obata-obatan pada bayi yang masih dalam kandungan, berada pada risiko yang lebih tinggi untuk autisma, termasuk SSRI, asam valproik, dan thalidomide.

Lantas, di mana kaitan antara vaksin dan autisma dimulai? Seorang mantan ahli bedah Inggris dan peneliti medis, Andrew Wakefield, dan 12 penulis sebuah studi ilmiah lainnya pada tahun 1998 yang mengklaim telah menemukan hubungan antara campak, gondok, dan rubella (MMR) dan autisma.

Namun, setelah serangkaian penelitian hingga beberapa dekade, para peneliti tidak menemukan hubungan yang konsisten dan pada tahun 2010 ditarik kesimpulan bahwa studi tersebut dilakukan secara terbatas, seperti sekelompok kecil subjek tes.

Komite etika memutuskan bahwa Wakefield telah gagal bertanggung jawab sebagai konsultan dan tidak jujur dan tidak bertanggung jawab untuk menyetujui dan mengedit makalah penelitian akhir, yang diterbitkan dalam The Lancet. Ia "dipecat" dari Medical Register pada Mei 2010 dan dilarang praktik kedokteran di Inggris.

"Ada banyak misinformasi di luar sana tentang vaksin," kata penulis pembantu, Margaret Maglione, juga seorang peneliti dengan Rand. "Dengan munculnya internet dan penurunan jurnalisme cetak, siapa pun bisa memasukkan apapun di Internet," imbuhnya.

Sejak itu, telah terjadi penurunan penggunaan vaksinasi. Orang tua, yang awalnya mendengar penelitian tersebut, seringkali tidak mendengar tentang pencabutan dan kebohongan yang ditemukan dari penelitian Wakefield, dan hasilnya, hampir satu dari empat anak-anak tidak menerima semua vaksinasi yang direkomendasikan.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), vaksin diberikan kepada bayi dan anak-anak dalam 20 tahun terakhir akan mencegah 322 juta penyakit, 21 juta rawat inap, dan 732.000 kematian sepanjang masa hidupnya.

Namun, setidaknya 539 orang di Amerika Serikat telah terinfeksi dengan campak tahun ini saja. (*)

Editor: Roelan