Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Libatkan Aparat dan Institusi Hukum

Aset Batubara di Kaltim Senilai Rp 7,6 Triliun Milik Pengusaha Pribumi Diambil Paksa
Oleh : Surya
Kamis | 01-05-2014 | 11:19 WIB
batu-bara-pulau-bunyu.jpg Honda-Batam
ilustrasi Tambang Batubara di Kalimantan Timur

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengusaha pribumi, H. Asri, yang merupakan keluarga besar Muhammadiyah Kalimantan Selatan (Kalsel), dikriminalisasi sampai sidang pengadilan, hingga pria kelahiran Nagara, Hulu Sungai Selatan, Kalsel, itu akhirnya meninggal dunia.

Aset tambang batubara senilai Rp 7,6 triliun diambil paksa oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Setelah ditemukan novum dengan putusan perkara pidana PN Jakarta Selatan No.1040/Pid.B/2010/PN.Jkt-Sel, tanggal 25 Mei 2011, dan dikuatkan dengan Putusan Perkara Pidana MA, No.1711 K/Pid/2011, tanggal 14 November 2012, di mana almarhum H. Asri dinyatakan bebas murni.

Berawal dari kepemilikan perusahaan tambang batubara PT Gunung Bayan Pratama Coal (GBPC) yang didirikan (Alm) H. Asri dan keluarganya pada tahun 1990. Dan 15 Agustus 1994, mendapatkan ijin PKP2B (Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Tambang Batubara) dari pemerintah, seluas 100.000 hektar, di Kutai Kartanegara dan Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim), No.002/PK/PT.BA-PT.GBP/1994.
 
Pada tanggal 1 November 1995 di Singapura, PT. GBPC mengadakan kesepakatan kerjasama dengan perusahaan Singapura International Coal PTE. LTD yang dimiliki LOW TUCK KWONG yang meliputi: Perjanjian dasar, Perjanjian eksplorasi dan Perjanjian keuangan. Dimana berdasarkan perjanjian tersebut di atas telah sepakat bahwa pajak menjadi tanggung jawab pihak LOW TUCK KWONG (International Coal PTE.LTD). Saat itu proses pertambangan masih dalam tahap Eksplorasi, sehingga tujuan perjanjian adalah hanya untuk mengetahui potensi batubara di areal pertambangan tersebut.
 
Selama proses mulai kerjasama, terlihat adanya gelagat buruk dari LOW TUCK KWONG (International Coal PTE.LTD), selama melakukan kegiatan penelitian (eksplorasi) di konsesi PKP2B PT GBPC, karena tidak pernah sama sekali melaporkan hasil kegiatannya itu pada alm H. Asri selaku pemilik PT GBPC, dan malah membuat laporan-laporan pengaduan kepada Departemen Pertambangan dan Energi yang berniat untuk menguasai dan mengabil-alih konsesi tersebut, karena LOW TUCK KWONG sudah mengetahui jumlah cadangan batubaranya sangat besar dengan kualitas paling baik (high calory).

Karuan saja alm. H Asri menerima  surat pada tanggal 30 Mei 1997 dari Direktur, Direktorat Batubara, Departemen Pertambangan dan Energi yang isinya tidak memperkenankan alm. H Asri selaku pemilik PT GBPC untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain bila permasalahan dengan LOW TUCK KWONG International Coal PTE.LTD belum selesai. Kemudian ditambah lagi surat tekanan  pada 4 September 1997 dari Dirjen Pertambangan dan Energi yang isinya akan melakukan pemutusan sepihak atas ijin PKP2B PT GBPC.
 
Pada akhirnya pada 27 Nopember 1997 alm. H. Asri melepas seluruh saham PT GBPC kepada LOW TUCK KWONG (International Coal PTE.LTD/PT. Kaltim Bara Sentosa). Padahal LOW TUCK KWONG pada saat itu merupakan warga negara Singapura, yang tidak boleh membeli perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dibuktikan dengan adannya Permanen Residence (PR) dan Affidavitnya, selain itu juga Perjanjian PKP2B mensyaratkan bahwa saham tersebut baru boleh dijual kepada pihak III (ketiga)  setelah 4 (empat) tahun berproduksi sedangkan pada saat itu masih dalam tahap penelitian (eksplorasi). Dan penandatanganan akta tersebut dilakukan di ruang kerja Irjen, dan sayangnya Irjen pun ikut menandatangani pengalihan saham tersebut dengan harga yang sangat murah yaitu Rp 5 miliar, dan tidak dibayar lunas. Menurut  LOW TUCk KWONG sisanya dibayarkan kepajak PT GBPC.
 
Setelah terjadinya jual beli, pada 29 Nopember 1997,  alm. H Asri menerima surat teguran pajak atas utang pajak PT GBPC sejumlah Rp1.535.993.204 di mana rincian pajak tersebut adalah PPh.Ps.25 merupakan pajak penghasilan, padahal saat itu PT GBPC masih dalam tahap penelitian (eksplorasi), sehingga belum ada penghasilan. Ternyata, PPH.Ps.26 merupakan pajak orang asing. PT. Gunung Bayan Pratama Coal merupakan PMDN dan tidak pernah mempekerjakan orang asing.
 
Dan, terakhir adalah PPN peralatan berat, PT. Gunung Bayan Pratama Coal pada saat itu masih tahap penelitian (eksplorasi) dan sangat tidak mungkin menggunakan alat berat dan pada tahun yang sama tertanggal 30 September 1998, alm. H Asri juga menerima surat dari Irjen Pajak, No: 515/PJ.55/1998, menyatakan bahwa pajak PT GBPC pada tahun yang sama yaitu tahun 1996 adalah ' Nihil'.
 
Pada 20 Nopember 1998, alm. H Asri menerima surat dari kuasa hukum LOW TUCk KWONG (Minang Warman Sofyan dan Associates Law Offices) yang menyatakan bahwa Kliennya bersedia membayar sisa uang pembelian saham kepada pemegang saham PT GBPC, maka dengan surat itu bahwa Low Tuck Kwong mengakui masih memiliki hutang kepada H Asri PT GBPC. Berdasarkan perjanjian jual beli saham Pasal 3 ayat c berbunyi 'Apabila perpanjangan kedua telah lewat 30 hari dan ternyata pihak kedua (LOW TUCK KWONG) masih belum melaksanakan, maka jumlah yang tertunggak akan dikonversikan secara proporsional dengan saham pada perseroan atas nama alm. H Asri. Berarti sampai sekarang saham alm. H. Asri dan kelurganya masih memiliki 30% saham di PT GBPC'.
 
Dalam perkara Perdata, alm. H Asri dkk pada 28 Juli 2008 melalui kuasa hukumnya Abdul Alwi Dwijonugroho SH & Rekan mengajukan Gugatan Perdata pembatalan jual beli  dan tuntutan ganti rugi kepada LOW TUCK KWONG DKK, di PN Jakarta Selatan No.882/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel, tertanggal 22 April 2009. Dengan Putusan 'Menolak gugatan penggugat'.
 
Alm. H Asri dkk tanggal 5 Mei 2009, melalui kuasa hukumnya Rawi Sahroni & Partners mengajukan Banding atas Putusan tersebut tanggal 5 Mei 2009, di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, No.595/Pdt/2009/PT.DKI, tertanggal 29 April 2010. Dengan Putusan 'Menguatkan Putusan  Pengadilan Negeri Jakarta Selatan'.

Editor: Surya