Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perekonomian Cina Sedang Terbelit Masalah
Oleh : Redaksi
Kamis | 27-03-2014 | 15:02 WIB
forbes.jpg Honda-Batam
Bursa Cina. (foto: forbes.com)

BATAMTODAY.COM, Hong Kong - Cina, sebagai raksasa baru perekonomian dunia, sedang terbelit masalah. Kabar buruk kian menumpuk dalam perekonomian Cina. Kini, kecemasan akan ketahanan finansial Beijing mulai mendalam.

Masyarakat bertanya-tanya, mampukah Beijing menjaga mesin perekonomian serta mencegah ketidakstabilan pasar?

Sinyal kesukaran ekonomi menguat kala sejumlah perusahaan melaporkan laba yang mengecewakan. Selain itu, bank pemerintah juga terpaksa menanggung penghapusan piutang yang besar.

Pada Rabu (26/3/2014), Bank of China melaporkan pertumbuhan laba terlemah sejak penawaran saham perdana pada 2006.

Pernyataan lembaga pemeringkat Standard & Poor’s (S&P) pada Rabu kemarin ikut memusingkan Cina. Dalam laporan utang kuartalan Asia, S&P memperingatkan Cina tampaknya harus segera menangani pinjaman besar-besaran di sektor perbankan bayangan. Sektor ini meliputi firma pendanaan pemerintah daerah, pengembang properti, serta perusahaan trust.

Sejauh ini, Cina masih bisa berkelit dari kasus gagal bayar skala besar. Sebelumnya pada Maret, sebuah produsen komponen tenaga surya menjadi perusahaan pertama Cina yang menghadapi default obligasi domestik.

S&P memperingatkan Cina akan menanggung lebih banyak default. Sumbernya adalah produk manajemen kekayaan yang diterbitkan oleh sektor non-perbankan.

Otoritas Cina, yang mengantongi aset finansial triliunan dolar, tampaknya tak bakal merelakan negara itu terlilit krisis utang, kata S&P. Namun, pernyataan lain S&P tetap memperdalam kecemasan di antara pengamat Cina: pemerintah mungkin tak sanggup menghindari beberapa gejolak keuangan. Dan itu akan memukul pertumbuhan ekonomi.

"Proyek yang layak investasi sekalipun bisa terseok-seok memperoleh pembiayaan," kata S&P. "Pertumbuhan Cina berpeluang turun tajam hingga paling tidak beberapa kuartal mendatang, yang dipicu investasi."

Negara yang banyak bergantung pada ekspor ke Cina mulai khawatir, kesukaran nantinya ikut merugikan perekonomian mereka. "Kita bisa melihat periode gejolak yang signifikan dalam pasar finansial dan dampaknya bagi pertumbuhan Cina -juga dalam harga komoditas yang akan menghantam Australia dan Selandia Baru," papar Grant Spencer, deputi gubernur bank sentral Selandia Baru Reserve Bank of New Zealand pada Rabu.

Pemerintah Cina memperkirakan pertumbuhan bisa mencapai 7,5 persen tahun ini, salah satu laju tercepat dalam kelompok negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar dunia. Nev Power, CEO perusahaan pertambangan Australia Fortescue Metals Group, pada Rabu mengaku dirinya percaya urbanisasi akan menyetir tingginya permintaan Cina akan bijih besi. Permintaan bakal menguat, meski pertumbuhan cenderung moderat.

Tetap saja, peralihan dari investasi berbasis kredit pada industri berat -seperti baja- menjadi fokus terhadap konsumsi domestik telah membuat pertumbuhan Cina seakan mengerem mendadak. Pekan ini, HSBC menyatakan barometer awal akan aktivitas pabrik Cina turun hingga level terendah dalam delapan bulan.

Produksi industri dalam dua bulan pertama 2014 melemah hingga pertumbuhan terendah dalam lima tahun, menurut Credit Suisse. Belanja ritel, investasi, dan pasar perumahan menunjukkan tanda-tanda pelemahan.

Sebelumnya, seorang pejabat senior pada lembaga investasi milik pemerintah Cina mengatakan, pertumbuhan ekonomi negara itu sejauh ini mengecewakan. Namun, menurutnya, masih terlalu dini untuk memicu kekhawatiran.

"Pertumbuhan (Cina) pada triwulan pertama tidak memuaskan. Tetapi, situasi saat ini seakan masih dalam kondisi uji coba -bukan mewakili (pertumbuhan) setahun," ujar Li Xiaopeng, kepala dewan pengawas China Investment Corp, dalam konferensi investasi Credit Suisse di Hong Kong.

Dewan pengawas CIC bertanggung jawab memonitor perilaku para direktur dan eksekutif lembaga investasi itu.

"Pertumbuhan yang sesungguhnya terjadi (pada kuartal kedua). Jadi, janganlah cemas," ujarnya sambil menyinggung pengaruh Tahun Baru Imlek dalam pembacaan data ekonomi.

Dalam dua bulan pertama 2014, data perekonomian Cina menunjukkan hasil mengecewakan. Indeks saham turun dan perbankan investasi terpaksa menurunkan prediksi pertumbuhan Cina.

Tahun lalu, Cina mengatakan akan mengambil sejumlah langkah reformasi untuk membuat sektor korporasi lebih kompetitif. Namun banyak analis mengatakan kebijakan ini akan membebani pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu itu. (*)

Sumber: The Wall Street Journal