Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Agar Transaksi Properti Aman

Langkah Jitu Saat Berhadapan dengan Pengembang
Oleh : Sumantri
Sabtu | 14-05-2011 | 05:26 WIB

Batam, batamtoday - Kasus perselisihan antara konsumen dengan pengembang properti karena tertipu oleh pengembang nakal kerap terjadi. Sering kali konsumen tidak jeli memperhatikan masalah kaidah hukum transaksi properti, yang kemudian dimanfaatkan oleh pengembang 'nakal' untuk meraup keuntungan.

Pakar hukum properti Erwin Kallo mengatakan, konsep Preproject Selling atau penjualan sebelum proyek pembangunan properti dimulai, telah menjadi model beberapa tahun terakhir ini. Menurutnya pihak pengembang maupun konsumen sering melupakan konsekuensi-konsekuensi yuridis di dalam pelaksanaannya.

Erwin menuturkan beberapa poin untuk mencegah permasalahan atau tuntutan hukum di kemudian hari, wajib menjadi perhatian konsumen dalam memiliki properti idaman. Hal-hal kecil yang berkaitan dengan transaksi dan perjanjian harus diteliti dengan seksama agar di kemudian hari tidak terjadi kesalahpahaman antara kedua belah pihak.

Sejatinya, pengembang tidak diperkenankan melaksanakan pemasaran atau penjualan sebelum izin mendirikan bangunan (IMB) dimiliki, terlebih lagi jika tanah belum dibebaskan karena tindakan tersebut dapat dikategorikan tindak pidana 'penipuan' karena dianggap memasarkan atau menjual sesuatu yang belum menjadi haknya.

Transaksi pemesanan biasanya dilakukan pada saat launching atau pameran perumahan. Konsumen biasanya membayar booking fee dimana pada saat itu konsumen hanya diberi penjelasan lisan oleh marketing pengembang tanpa memberikan draft Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB). Sebagai konsumen yang arif, anda wajib mendahulukan terpenuhinya hak-hak anda, salah satunya adalah penerimaan Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB).

Seharusnya pada saat itu pengembang sepatutnya memberikan draft PPJB-nya karena dipihak konsumen telah timbul konsekuensi hukum, yaitu jika dalam waktu tertentu (biasanya 14 hari) ia tidak membayar uang muka (sebesar 20-30 % dari harga jual) maka booking fee-nya hangus atau tidak menyetujui isi PPJB, booking fee bahkan uang muka tidak dapat dikembalikan.

Kenyataan bahwa sebagian konsumen properti tidak puas terhadap cara dan isi PPJB selama ini, karena dianggap tidak adil. Hal ini dapat dilihat sebagai suatu peluang atau setidaknya dijadikan 'selling point' dengan cara membuat PPJB yang 'negotiable' secara terbatas, maksudnya tetap ada klausul-klausul yang baku guna melindungi kepentingan pengembang.

Erwin menuturkan, beberapa rujukan hukum dalam membuat PPJB, perlu diperhatikan beberapa hal, dalam menyusun draft PPJB (Legal Drafting) yang standar mengatur hal-hal antara lain, Komparasi Perjanjian, yaitu para pihak yang akan menandatangani PPJB. Apakah badan hukum PT pengembang itu telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman? Hal ini penting sehubungan dengan pertanggungjawabannya bila PT itu bubar atau pailit.

Lalu, apakah Direktur yang menandatangani telah mendapat persetujuan dari Komisaris Perseroan, atau bila diwakilkan oleh orang lain selain Direksi, harus mendapat kuasa dari Direksi tersebut. Selain itu, aspek yang perlu mendapat perhatian adalah premis. Premis, yaitu penjelasan awal mengenai perjanjian harus ditegaskan bahwa pengembang telah memiliki atau menguasai lahan tersebut secara sah tidak dalam keadaan dijaminkan. Lalu pengembang telah mendapatkan izin-izin yang diperlukan oleh proyek tersebut sesuai dengan SK Menpera tentang PPJB rumah.

Adapun mengenai isi PPJB biasanya terkandung informasi dasar mengenai harga jual dan biaya-biaya lain yang ditanggung konsumen, tanggal serah terima fisik yang tidak boleh melebihi 18 bulan sejak pembayaran pertama, denda keterlambatan bila pengembang terlambat melakukan serah terima fisik kepada konsumen dan spesifikasi bangunan dan lokasi.

Hak pengembang untuk membatalkan perjanjian, bila pengembang lalai akan kewajibanya dengan pembayaran kembali seluruh uang yang telah disetor konsumen berikut denda-dendanya sebagaimana pengembang membatalkan perjanjian bila konsumen lalai melaksanakan kewajibannya.

Penandatanganan akta jual beli haruslah ada kepastian tanggalnya dan denda bila terjadi keterlambatan serah terima fisik yang didenda. Masa pemeliharaan 100 (seratus) hari sejak tanggal serah terima.

Tidak semuanya konsumen ingin secepatnya dilaksanakan serah terima, ada pula yang ingin menunda-nunda serah terima karena pada saat serah terima maka seluruh hak dan kewajiaban beralih kepadanya termasuk service charge dan pajak-pajak. Hal ini sering ditemui pada konsumen apartemen. Untuk mengantisipasi dapat diatur dalam PPJB klausula serah terima bahwa:

Bilamana konsumen tidak atau belum juga menandatangani Berita Acara Serah Terima setelah diberitahu secara tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut, maka Berita Acara tersebut dapat dianggap telah ditandatangani atau memberi kuasa kepada pengembang untuk menandatanganinya hak dan kewajiban atau penguasaan unit properti telah beralih kepadanya.

Adapun draft Berita Acara Serah Terima Fisik harus memuat hal-hal yang merupakan pengalihan fisik dan tanggung jawab dengan bahasa yang jelas dan tegas untuk menghindari penafsiran ganda. Setelah serah terima fisik dan pengembang menerima uang penjualan secara penuh, selanjutnya dilaksanakan penandatanganan Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan lazimnya pengaturan itu diserahkan kepada PPAT/notaris sekaligus pengurusan balik nama sertifikat karena telah diatur sebelumnya dalam PPJB.