Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Pertimbangkan Potongan Bea Ekspor Mineral
Oleh : Redaksi
Selasa | 04-03-2014 | 15:20 WIB
pertambangan.jpg Honda-Batam
Aktivitas pertambangan di Indonesia. (Foto: net)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pemerintah agaknya mulai bersikap lunak setelah gagal mencapai kesepakatan dengan penambang besar yang menentang bea ekspor konsentrat mineral. Pemerintah sedang menimbang untuk memotong pajak kontroversial tersebut.

Demikian disampaikan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Susilo Siswoutomo, Minggu kemarin. Kepada The Wall Street Journal, Susilo mengatakan, pemerintah akan menimbang diskon bea keluar bagi penambang yang "serius" membangun smelter di Indonesia sebelum mengekspor logam ke pembeli di luar negeri. Smelter adalah fasilitas pembuat logam dari mineral mentah.

Menurut Susilo, potongan pajak ini akan diputuskan berdasarkan kasus per kasus. "Hal ini tengah dievaluasi dan dapat berbeda-beda untuk setiap perusahaan," katanya.

Bulan lalu pemerintah mulai melarang ekspor bijih mineral mentah untuk memaksa penambang mengolahnya terlebih dahulu di dalam negeri. Dengan larangan ekspor mentah langsung, pemerintah berharap mendapat manfaat dari pasar komoditas. 

Indonesia merupakan pengekspor komoditas utama seperti bijih nikel, bauksit, timah, tembaga, dan batu bara termal.

Selain itu pemerintah juga mulai mengenakan bea ekspor bagi konsentrat mineral seperti tembaga, besi, seng, dan manggan sebesar 20 - 25 persen. Pajak ini akan dinaikkan secara progresif sampai 60 persen pada akhir 2016.

Penambang di Indonesia biasanya mengolah mineral mereka dalam jumlah kecil di dalam negeri. Perusahaan tambang berpendapat, produksi logam dari bijihnya di Indonesia tidak ekonomis dan mereka tidak dapat bersaing dengan smelter Asia lainnya, seperti di Cina.

Perusahaan tambang dan pengamat telah memperingatkan larangan ekspor mineral ini dapat berujung pada pengurangan karyawan besar-besaran dan berkurangnya pajak pendapatan. Hal ini terutama saat ekonomi Indonesia tengah berjalan lamban menjelang pemilu legislatif dan presiden pada April dan Juli mendatang.

Menurut perusahaan tembaga Freeport-McMoRan Copper &Gold Inc dan Newmont Mining Corp, mengolah tembaga dengan level kemurnian tinggi sangat tidak ekonomis. Selain itu, pajak yang dikenakan atas konsentrat tembaga dinilai sebagai bentuk pelanggaran atas kontrak kedua perusahaan dengan pemerintah.

Dalam sebuah dokumen regulator di Amerika Serikat baru-baru ini, Freeport mengatakan unitnya di Indonesia, PT Freeport Indonesia, berpotensi menyatakan force majeure. Langkah ini ditempuh jika mereka tidak menemukan kesepakatan soal pajak ekspor dengan pemerintah.

Perusahaan kerap memasukkan klausa force majeure dalam kontrak untuk situasi luar biasa, seperti kebakaran, bencana alam, dan perang, yang menghambat mereka dalam memenuhi batas waktu pengiriman produk. Freeport Indonesia, pembayar pajak satuan terbesar di Indonesia, belakangan ini telah beberapa kali menyatakan force majeure akibat kecelakaan fatal atau demo buruh di tambangnya di Papua.

Meski tengah berdiskusi dengan pemerintah, Freeport mengatakan akan bertindak jika operasi normal tidak berlanjut. Ini seperti mengurangi karyawan, menunda rencana belanja kapita, dan mengurangi biaya operasional.

CEO Freeport Indonesia, Rozik Soetjipto, kepada The Wall Street Journal, Minggu kemarin, mengatakan akan menyambut pemotongan bea ekspor. Meski demikian Rozik menolak menjawab apakah Freeport akan bersedia membayar pajak yang telah didiskon tersebut.

"Kami telah memberitahu pemerintah soal keseriusan kami (soal kemungkinan) pembangunan smelter dan hal lainnya. Kami menanti respon pemerintah," kata Rozik. 

Ia merujuk pada kesepakatan Freeport dengan BUMN PT Aneka Tambang baru-baru ini untuk menelaah pembangunan smelter. Saat ini hanya 40 persen konsentrat tembaga Freeport yang diolah di Indonesia.

Pengamat industri lainnya menilai pemerintah mungkin menerapkan larangan ini terlalu cepat kepada industri mineral tanpa pertimbangan yang cukup.

"Freeport (Indonesia) adalah pembayar pajak besar. Dalam situasi ini, kehilangan wajib pajak besar berarti kerugian besar," kata dosen ekonomi, Muhammad Ikhsan dari Universitas Indonesia.

Wakil Komisaris Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA), Tony Wenas, mengatakan, bea ekspor "tidak pantas" lantaran jumlah smelter tidak cukup banyak di Indonesia untuk mengolah konsentrat mineral.

Presiden dan CEO Newmont, Gary Goldberg, dalam sebuah telepon konferensi dengan analis, 31 Januari lalu, mengatakan akan menimbang jalur hukum untuk melindungi hak-haknya.

"Kami lebih memilih menghindari arbitrasi seraya memastikan respek untuk Kontrak Kerja akan terus ada," kata Goldberg.

PT Newmont Nusa Tenggara, perusahaan Newmont di Indonesia, hanya mengolah 30 persen dari konsentrat tembaganya di Indonesia. Meski demikian Newmont mengklaim lebih dari 95 persen nilai tembaga yang ditambangnya diperoleh melalui penambangan dan operasi pengolahan yang menyokong 9.000 lapangan kerja. Newmont Nusa Tenggara merupakan pengelola tambang tembaga dan emas Batu Hijau di Pulau Sumbawa.

Susilo menolak mengomentari pernyataan terbaru Freeport dan Newmont tersebut. (*)

Sumber: The Wall Street Journal