Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ada Keinginan untuk Tata Ulang Sistem Ketetanegaraan Lagi
Oleh : Surya
Senin | 03-03-2014 | 17:50 WIB
Jafar.jpg Honda-Batam
Jafar Hafsah, Ketua Tim Kajian MPR

BATAMTODAY.COM, Jakarta -  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menilai ada keinginan untuk melakukan tata ulang kembali Sistem Ketatanegaraan Indonesia, karena sistem saat ini menjadikan MPR sebagai tinggi negara bukan lembaga tertinggi negara.  


"Saat ini ada tiga keinginan soal tata ulang negara; yaitu kembali ke naskah aseli UUD 1945, melanjutkan yang sudah ada sekarang sambil menyingkronkan dengan UU yang ada, dan melakukan amandemen kelima UUD 1945. Kita semua siapkan untuk perubahan tersebut," kata M Jafar Hafsah, Ketua Tim Kajian MPR di Jakarta, Senin (3/3/2014). 

Menurut Jafar, dalam transisi politik sebenarnya sudah banyak kemajuan yang dicapai misalnya  kebebasan pers, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokrasi secara langsung, dan seluruh dunia mengakui kemajuan demokrasi Indonesia. 

"Tapi kalau otonomi daerah dinilai kebablasan, ayo kita perbaiki bersama. Jangan mengganti sistem ketatanegaran lagi. MPR sekarang  bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, dan tidak memberi mandat kepada presiden. MPR  sejajar dengan DPR , Presiden, DPD, MK, MA, dan KY, dimana memiliki fungsinya masing-masing dan bertanggung jawab kepada masyarakat," katanya.

Karena itu, ia mengusulkan yang diatur cukup secara tegas adalah GBHN yan bisa menjadi dasar bagi presiden terpilih untuk menjalankan roda pemerintahannya secara efektif dan efisien. 

"Cukup emacam GBHN agar presiden terpilih tidak cukup hanya dengan visi dan misinya dalam menjalankan pembangunan, dan harus bertanggung jawab kepada MPR," katanya. 

Pertanggungjawaban tersebut, lanjutnya, dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR. "Jadi bukan hanya presiden yang harus melaporkan tanggungjawabnya tetapi juga lembaga-lembaga lainnya. 

"Jadi semuanya kita kaji termasuk GBHN atau RPJP (Rancangan Pembangunan Jangka Panjang) dan sebagainya. Kita harus optimis karena selama ini juga sudah banyak kemajuan yang sudah dicapai,," katanya. 

Sedangkan pengamat politik Siti Zuhro mengatakan penggunaan sistem ketatanegaraan saat ini memiliki kerancuan dengan sistem bikameral,  dengan keberadaan MPR, DPR dan DPD. 

"Kalau lihat saat ini keberadaan MPR sebenarnya tidak perlu ada, karena keberadaannya hanya join session saja. Di satu sisi hendak menerapkan sistem bikameral dengan ditopang oleh DPR dan DPD, namun di sisi lain masih melanggengkan MPR RI sebagai. UU MD3 itu ambigu," katanya.  

Zuhro berharap agar kerancuan tersebut perlu segera dibenar dibenahi dengan membubarkan Sekretaris Jenderal MPR, cukup menyisakan Sekretrariat Jenderal DPR dan DPD.  

"Itu dimaksudkan agar MPR bisa berfungsi sebagai majelis nasional yang anggotanya berasal dari DPR dan DPD. Keberadaan model ini bisa memperkuat efektifitas sistem pemerintahan presidensial," katanya.  

Sementara itu, pengamat psikologi politik Hamdi Muluk mengatakan, setiap lembaga tinggi negara maupun institusi publik saat ini bertangungjawab langsung kepada rakyat.  "Baik walikota, bupati, gubernur, presiden, DPR, DPD, DPRD dan sebagainya. Sehingga setiap institusi publik harus bertanggungjawab karena institusi publik itu pakai anggaran publik, itu sejalan dengan UU keterbukaan informasi publik," kata Hamdi.

Namun, kinerja lembaga tinggi negara maupun institusi publik selama ini sangat mengecewakan baik di pusat maupun daerah. "Harusnya ada chek and balances. Mandat  langsung dari rakyat dan bertanggung jawab pada rakyat," katanya.

Editor : Surya