Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengonsumsi Acetaminophen Selama Kehamilan Berisiko Sebabkan ADHD pada Bayi
Oleh : Redaksi
Sabtu | 01-03-2014 | 08:10 WIB

BATAMTODAY.COM, Los Angeles - Mengonsumsi asetaminophen atau dikenal juga sebagai parasetamol pada masa pranatal (kehamilan) dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan terhadap attention-deficit/hyperactivity (ADHD). Hal itu berdasarkan data lebih dari 60.000 kelahiran di Denmark. Penelitian ini dipublikasikan secara online di jurnal JAMA Pediatrics pada 24 Februari. 

Seperti dikutip dari laporan Pediatric News, risiko perilaku seperti ADHD pada anak-anak usia 7 tahun meningkat sebesar 13 persen dari ibu yang menggunakan acetaminophen selama masa kehamilan. Ketika acetaminophen digunakan pada trimester kedua dan ketiga, risikonya meningkat sebesar 44 persen, dan bila digunakan selama semua tiga trimester, risikonya meningkat sebesar 24 persen.

Kaitan dengan tiga hasil tersebut ternyata lebih besar ketika acetaminophen digunakan lebih dari satu trimester dan dengan meningkatnya frekuensi penggunaan (lebih dari 20 minggu selama kehamilan). Karena paparan acetaminophen adalah umum, "Kaitan ini mungkin menjelaskan beberapa insiden atas meningkatnya di HKD (hyperkinetic disorder) atau ADHD. Namun studi lebih lanjut masih diperlukan," kata Zeyan Liew, peneliti dari Departemen Epidemiologi, Fielding School of Public Health, University of California, Los Angeles.

Penelitian yang prospektif sudah termasuk 64.322 anak yang lahir dan ibu mereka yang terdaftar dalam Cohort Kelahiran Nasional Denmark selama 1996-2002, dan data dari rumah sakit nasional, kejiwaan dan pendaftar resep. Para ibu telah berpartisipasi dalam tiga wawancara tentang penggunaan acetaminophen selama kehamilan, yakni pada minggu ke-12 dan ke-30 kehamilan, dan 6 bulan setelah melahirkan.

Sebuah subkelompok dengan 41.000 wanita yang telah merespon self-administered questionnaire (the Strengths and Difficulties Questionnaire) ketika anak mereka berusia 7 tahun, yang digunakan untuk mengevaluasi perilaku ADHD. Hasilnya, 55 persen dari perempuan dalam kelompok ini telah menggunakan acetaminophen di beberapa masa dalam kehamilan mereka. Sementara, dari seluruh kelompok 64.322 ibu, sebanyak 56 persen telah menggunakan acetaminophen selama kehamilan .

Data yang diperoleh oleh para peneliti termasuk laporan-laporan orang tua mengenai perilaku ADHD anak mereka pada usia 7 tahun, diagnosis rumah sakit terhadap HKD pada usia 5 tahun ke atas, dan penggunaan obat ADHD, terutama ritalin. 

Para peneliti juga memperhatikan faktor-faktor yang ikut mempengaruhi, seperti berat lahir bayi, jenis kelamin, usia ibu saat melahirkan, status sosial ekonomi ibu melahirkan, penggunaan narkoba dan alkohol selama kehamilan, laporan kejiwaan dan masalah perilaku masa kanak-kanak dari ibu, dan penyakit atau kondisi yang mendorong para ibu menggunakan acetaminophen.

Kaitan antara penggunaan acetaminophen prenatal dan peningkatan risiko HKD atau menggunakan obat ADHD juga meningkat ketika acetaminophen digunakan selama dua atau lebih trimester. Dan tren yang signifikan muncul seiring bertambahnya usia kehamilan, yakni ketika digunakan selama 20 minggu atau lebih, risiko untuk diagnosis HKD meningkat sebesar 84 persen dan risiko untuk mendapat pengobatan ADHD meningkat sebesar 53 persen. 

"Hasil ini sama pada ibu yang tidak melaporkan penyakit kejiwaan atau episode demam, peradangan, dan infeksi selama kehamilan," tambah mereka .

Mengacu pada bukti dari hasil penelitian terhadap hewan dan manusia, menunjukkan acetaminophen mungkin sebagai pengganggu hormon endokrin. "Hormon ibu, seperti hormon seks dan hormon tiroid, memainkan peran penting dalam mengatur perkembangan otak janin. Dan adalah mungkin bahwa acetaminophen dapat mengganggu perkembangan otak dengan mengganggu hormon ibu atau melalui neurotoksisitas, seperti induksi stres oksidatif yang dapat menyebabkan kematian saraf," tulis para penulis.

Kekuatan penelitian termasuk ketersediaan titik akhir yang berbeda untuk mengevaluasi berbagai tingkat ADHD dan penggunaan data prospektif (wawancara dengan ibu). Tapi temuan itu dibatasi oleh ketidakmampuan untuk mengevaluasi pengaruh dosis atau jumlah pil, karena para ibu tidak dapat memberikan informasi ini. 

Meskipun menyesuaikan variabel pengganggu, "Kemungkinan tidak terukur residual yang membaur dengan indikasi penggunaan narkoba, faktor genetik yang berhubungan dengan ADHD, atau coexposures terhadap obat lain, tidak dapat diberhentikan," kata para peneliti.

Karena itu, dalam editorialnya, Miriam Cooper MRCPsych dari Institute of Psychological Medicine, Cardiff, Wales, dan rekan-rekannya menulis bahwa sementara hasil penelitian berpotensi penting, " Kehati-hatian harus dilakukan dalam menganggap penyebab statistik hal-hal yang mempengaruhi antara faktor risiko prenatal dan hasil yang merugikan. Dan hasilnya, tidak harus mengubah praktik." (*)

Editor: Roelan