Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Nilai Ada Fee ke Pejabat dalam Pembelian Pesawat MA-60 Buatan China
Oleh : Surya Irawan
Jum'at | 13-05-2011 | 15:48 WIB

Jakarta, batamtoday - Kasus jatuhnya pesawat MA-60 milik maskapai penerbangan Merpati Airlines merembet pada dugaan praktik korupsi dalam proses pembelian pesawat buatan Cina tersebut. Sejauh ini, DPR masih menelusuri sejumlah kejanggalan dalam proses pembelian pesawat di antaranya adanya uang fee dalam proses pembelian ini.

“Salah satu yang menjadi perhatian kami adalah, setelah disetujui DPR total nilai kontraknya adalah Rp 2,138 triliun, tetapi yang masuk ke account nya Merpati hanya 2,108 triliun. Jadi yang 30 miliarnya kemana. Data ini ada di APBNP 2010 yang diterima Komisi X,” kata anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta dalam diskusi dialektika demokrasi di Gedung MPR/DPR, Kamis (12/5) kemarin.

Selain itu, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini juga mempertanyakan adanya panambahan bunga pinjaman untuk pembelian pesawat. Dalam proses pembelian ini, pemerintah meminjam kepada bank ekspor import Cina dengan bunga sebesar 2,5 persen, tetapi setelah diteruskan ke Merpati bunganya dinaikkan menjadi 3 persen. “Artinya, ada beban bunga tambahan yang harus ditanggung Merpati sebesar 0,5 persen,” imbuhnya.

Namun, Arif tidak ingin menuding bahwa telah terjadi penyimpangan dalam proses pembelian pesawat MA60. Yang pasti, menurutnya ada ketidaktaatan asas dalam proses pinjaman. Dia mengaku miris dengan temuan ini, karena Merpati yang memiliki beban kerja dan keuangan berat, karena untuk meminjam saja harus mengatasnamakan pemerintah, tetapi masih ditekan dengan kewajiban penambahan bunga utang.Arif mengaku mengaku aneh, karena dalam proses pembelian G to G tidak istilah uang komisi kepada pemerintah yang merasa berjasa karena membantu pencairan dana pinjaman Merpati Airlines sebagai perusahaan milik negara. Lain lagi kalau prosesnya Business to business, tetapi ini kan G to G. “Aneh, kok pemerintah meminta fee,” kata Arif.

Mantan Anggota Komisi V (Komisi Perhubungan) DPR periode 2004-2009 Alvin Lie menjelaskan ihwal dipilihnya MA60 oleh Merpati. Menurutnya, rekomendasi didasarkan atas usulan Merpati Airlines. Namun, Alvin tidak menepis anggapan jika pemilihan MA60 ada kaitannya dengan proyek listrik 10 ribu megawatt yang sedang digarap pemerintah. Menurut Alvin, ketika itu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar proyek ini ditunda, mengingat kualitas pesawat yang tidak mendapat izin dari FAA. Namun, pemerintah Cina yang juga memiliki berinvestasi untuk megaproyek pengadaan listrik 10 megawatt menekan.

“Kalau mundur, kamipun (pemerintah Cina) akan mundur untuk pendanaan proyek listrik 10 megawatt di Indonesia,” kata AlvinAlvin mengatakan dirinya dapat memahami bila akhirnya pemerintah RI mengalah karena podisi tawarnya lebih rendah dibanding Cina. Karena bagaimanapun, menurutnya pemerintah Cina tentu akan memperjuangkan industri dalam negeri berkembang.

Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Merpati Aris Munandar menengarai jatuhnya pesawat MA60 Merpati buatan Cina tidak lepas dari ketidakberesan manajemen Merpati dalam mengelola maskapainya selama ini. “Pesawat ini tidak sekelas ATR, karena kalau ATR harga pasarannya sekiar 20 an juta dollar AS,” ujarnya.

Keputusan membeli MA60, kata dia karena tidak ada pilihan lain akibat kondisi keuangan Merpati yang makin memburuk. Sementara, perusahaan dituntut untuk memiliki armada baru. Dia meyakini, insiden ini tidak tiba-tiba jatuh, tetapi ada rangakain permasalahan di internal Merpati sehingga kualitas pelayanannya makin berkurang.Adanya pengurangan karyaan besar-bsaran dari 5 ribu hingga tinggal 1300 karyawan saja, selain itu keresahan karyawan yang masih tersisa termasuk dirinya yang sudah tidak lagi nyaman bekerja menjadi bagian dari banyaknya persoalan di perusahaan milik negara ini. “Harus diingat bahwa airlines adalah perusahaan yang menunut ketenanagan bekerja karyawannya, sekecil apapun harus benar-benar diperhatikan seperti seorang teknisi, lupa memberi baut, bisa mempengaruhi kenyamanan dalam penerbangan,” ujarnya.

Karena itu,Aris meyakini ada kontribusi ketidaknyamanan karyawan dalam bekerja dengan ketidaknyamanan pelayanan yang diberikan Merpati Airlines hingga terjadinya insiden jatuhnya pesawat terebut di Teluk Kaimana, Papua Barat, 7 Mei lalu.