Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Tolak Usulan KPK untuk Stop Pendaftaran Ibadah Haji
Oleh : Surya
Kamis | 13-02-2014 | 20:58 WIB
Ace_Sadzliy.jpg Honda-Batam
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Golkar TB Ace Hasan Syadzily

BATAMTODAY.COM, Jakarta -  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar pendaftaran ibadah haji ditutup atau diberhentikan sementara, karena dianggap membatasi kebebasan umat untuk beribadah haji.

 
KPK menilai pendaftaran haji yang sudah mencapai 2,4 juta orang dengan dana yang dikelola  sebesar Rp 56,8 triliun ditambah Dana Abadi Umat (DAU) Rp 2,4 triliun itu untuk menghindari terjadinya penyimpangan uang umat Islam tersebut. haji.

"DPR menolak usulan KPK itu karena sama dengan membatasi kebebasan beribadah haji. Soal dana haji yang besar itu, yang penting pengelolaannya transparan. Setidaknya ada laporan keuangan secara periodik yang dipublikasi terbuka pada masyarakat, melalui website Kemenag RI. Itu selama ini ada," tandas anggota Komisi VIII DPR RI FPG TB Ace Hasan Syadzily dalam diskusi 'Pengelolaan Dana Haji' di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (13/2/2014).

Menurut Ace sapaan akrab politisi Golkar tersebut, DPR RI sebagai pengawas penyelenggaran dan keuangan badah haji tidak saja Komisi VIII DPR, melainkan juga Komisi V untuk transportasi, dan Komisi IX untuk masalah kesehatan jamaah haji.

"Jadi, pengawasan itu dilakukan secara komprehensif kelembagaan. Bahkan Timwas DPR yang diketuai oleh Ketua DPR RI Marzuki Alie pun menggunakan dana sendiri, dan bukan dari Kemenag RI agar pengawasannya independen," tambahnya.

Termasuk penentuan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) tahun 2014 mendatang, yang sampai hari ini kata Ace belum bisa disepakati.

"Selain itu, DPR juga menolak usulan Kemenag RI yang akan menaikkan biaya awal pendaftaran dari Rp 25 juta menjadi Rp 30 juta karena khawatir terjadi penyimpangan," ujarnya.

Diakui jika sampai hari DPR tidak mengetahui seberapa besar seluruh dana haji yang terhimpun dan tersimpan di berbagai bank negara. Karena itu kata Ace, DPR berharap dana haji tersebut dikelola secara profesional dan transparan. "Ada laporan dari Kemenag RI secara periodik dan transparan," ungkap Ace lagi.

Namun demikian kata Ace, DPR mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan pengawasan tersebut, sejak pemberangkatan, katering, pemondokan, jarak dari pemondokan ke hotel, ke Masjidil Haram, dan seterusnya.

"Kalau untuk katering, yang penting rasa masakan Indonesia, dan bukannya rasa asing.  Sebanyak 2,4 juta daftar tunggu (waiting list) tersebut ada yang harus bersabar menunggu pemberangkatannya dari 6 tahun sampai 22 tahun," tutur Ace.

Sementara itu dana haji yang disidik KPK sekarang ini ternyata bukan dana penyelenggaraan ibadah haji, melainkan dana dalam praktek pelaksanaan ibadah haji 2012-2013.  "Jadi, bukan dana haji yang jumlah puluhan triliun itu,"  pungkasnya.

Sedangkan Ketua  Ikatan Persaudaraan Ibadah Haji (IPHI) Parni Hadi berharap DPR dan pemerintah merevisi UU No.13/2008 tentang haji untuk memisahkan tugas dan kewajiban Kemenag RI antara regulator dan operator seperti selama ini.

Kemenag RI cukup sebagai regulator, sedangkan pelaksana-operatornya diserahkan kepada Badan Khusus Haji dibawah Presiden RI, yang anggotanya bisa direkrut dari mana saja yang berkompeten, agar lebih mudah mengontrol dana penyelenggaraan ibadah haji tersebut.

"IPHI mengusulkan agar dilakukan revisi UU Haji tersebut di mana Kemenag RI cukup menjadi regulator, sedangkan pelaksanaan hajinya diserahkan kepada Badan Khusus Haji di bawah Presiden RI, yang rekrutmen keanggotannya dilakukan terbuka pada masyarakat yang kompeten. Bisa juga direkrut dari pejabat di Dirjen Haji dan lainnya," tegas Parni.

Parni Hadi mencontohkan pengelolaan dana haji seperti di Malaysia, yang dikelola melalui khusus Bank Haji. "Malaysia, yang jumlah jamaah hajinya jauh leih kecil dari Indonesia, ternyata mampu mengelola dana haji itu dengan baik, profesional, dan bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan dikembangkan melalui usaha kelapa sawit, jaminan sosial dan lain-lain," ujarnya.

Mengapa? "Pengelolaan itu penting, agar jelas antara regulator-pengatur kebijakan, dengan operator-pelaksana ibadah haji, agar dana haji itu tidak menjadi dana penitip saja. Pemerintah pun tak boleh mengklaim dana haji sebagai dana pemerintah. Apalagi atas nama Menag RI. Itulah yang harus dihindari, agar pengelolaan dana itu bisa dipertanggungjawabkan".

Editor : Surya