Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ayo Kembali Belanja di Pasar Tradisional
Oleh : Redaksi
Kamis | 30-01-2014 | 10:37 WIB
pasar-toss-3000.gif Honda-Batam
Pasar Toss3000, salah satu pasar tradisional di Batam.

BATAMTODAY.COM - Indonesia yang berpenduduk 250 juta jiwa memiliki 13.450 pasar tradisional dengan jumlah pedagang yang mencapai 12,5 juta orang.

Jika diasumsikan setiap pedagang pasar menghidupi 5 orang keluarga (suami, istri, dan 3 anak), maka 62,5 juta jiwa bergantung pada pasar tradisional. Ini belum termasuk jejaring rantai yang bergantung dengan pasar, dari hulu sampai hilir. Mulai dari kuli panggul, tukang ojek, becak, sopir angkot atau petani-petani kecil yang hanya mampu menjual barang dagangannya di pasar tradisional.

Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) dalam siaran pers yang diterima BATAMTODAY.COM, Kamis (30/1/2014) menilai, lebih dari 100 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya di pasar tradisional.

Hal ini jika dilihat dari mata rantai perdagangan dari hulu sampai hilir, karena pasar tradisional adalah 'show room' produk lokal.

Data terakhir yang dirilis oleh Kementerian Tenaga Kerja R.I, sebagian besar penopang hidup masyarakat miskin berada di Pasar Tradisional. Data tersebut menyebutkan, mereka berpendidikan SD ke bawah.

Sebanyak 54,2 juta orang atau 49.90% penduduk dengan tingkat pendidikan rendah bekerja di Pasar Tradisional dengan menjual produk rumahan yang dimiliki.

Inilah salah satunya, mengapa perlu menjaga & melestarikan pasar tradisional sebagai kekuatan perekonomian rakyat.

IKAPPI juga menyatakan kondisi pasar tradisional saat ini sungguh memprihatinkan. Data terbaru menyebutkan, puluhan konglomerat Indonesai (20-30 orang) yang dibiayai oleh investor asing mendapatkan konsesi/kepastian hukum berupa hak pengelolaan lahan (hutan) seluas 35,8 juta ha.

Sementara itu, 12,5 juta pedagang Pasar hanya memanfaatkan lahan seluas 18.750 ha (dengan asumsi luasan tempat usaha 10 meter persegi ditambah 50% fasilitas umum pasar).

Dalam prosentase, pedagang pasar hanya membutuhkan 0,05% lahan dan hal tersebut biasanya dipersulit oleh pemerintah. Sementara itu, puluhan pengusaha menguasai 99,95% lahan di Indonesia.

Pasar tradisional yang menghidupi kurang lebih 100 juta jiwa, saat ini dibayang-bayangi oleh kesan 'kumuh dan kotor'. Pengelolaan pasar tradisional biasanya diserahkan kepada Pemerintah Daerah yang secara aktif memungut retribusi kebersihan setiap hari. Namun hal tersebut seringkali tidak diimbangi upaya pemeliharaan pasar yang baik dan
berkesinambungan.

Kesan kumuh, kotor dan terkesan tidak aman ini justru sengaja dipelihara sebagai pintu masuk pihak ketiga, dalam hal ini pemilik modal untuk merevitalisasi pasar agar tampak lebih modern, bersih, aman dan nyaman.

Pemerintah Daerah dan pemilik modal cenderung menilai modernisasi pasar cukup dilihat dari sisi fisik bangunan tanpa melihat pasar tradisional juga sebagai aset budaya yang memiliki ciri khas di setiap daerah.

Data IKAPPI pun menyebutkan, jumlah pasar yang terbakar pada periode tahun 2011 - 2013 sebanyak 169 pasar.

Penyebab kebakaran yang paling sering terjadi adalah hubungan pendek arus listrik karena sistem penyediaan listrik di pasar yang tidak memenuhi standar. Seperti yang terjadi di Cianjur dan Kendari.

Pada beberapa tempat, ditemukan indikasi pembakaran. Hal ini biasanya terjadi apabila komunikasi antara Pemerintah dan Pedagang Pasar tidak terjalin dengan baik. Jika sudah terbakar, tidak ada ganti rugi untuk pedagang yang menyewa lapak di pasar selama periode tertentu.

Data lain pun menyebutkan, pada periode 2012-2013 terdapat 144 konflik pasar, baik antra pedagang pasar dengan Pemerintah Daerah, pengelola pasar dan investor. Hal ini tampak jelas di Kabupaten Purwakarta.

Perkembangan/ekspansi supermarket-supermarket di Asia telah dimulai sejak akhir dekade 90-an. Secara khusus pertumbuhan retail di Asia lima kali lebih cepat daripada di Eropa dan Amerika.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini, diantaranya: perjanjian perdagangan bebas, liberalisasi perdagangan dan investasi di tingkat nasional, regional, maupun di tingkat multilateral yang difasilitasi oleh WTO selama ini dengan services aggreement-nya.

Hal ini kemudian mendorong peningkatan investasi asing secara langsung di industri pangan, terjadinya integrasi secara vertikal, dari mulai lahan pertanian (menanam) hingga makanan yang tersaji di meja makan sudah dikuasai oleh perusahaan retail pangan.

Jika dilihat secara global, ada retail-retail besar yang sangat ekpansif di kalangan anak muda di Indonesia. Retail ini sebenarnya berasal dari Jepang, kemudian diakuisisi oleh perusahaan retail raksasa dan melakukan pembangunan sangat cepat di kota-kota besar di Indonesia.

Memiliki sekitar 250 juta penduduk, Indonesia merupakan pasar potensial bagi bisnis retail modern. Maraknya pembangunan mall atau pusat perbelanjaan di kota-kota besar menarik Pelaku Retail Besar & Pasar Swalayan untuk membuka gerainya hingga ke wilayah perkampungan.

Keberadaan retail modern berdampak negatif terhadap jumlah pasar tradisional. Retail modern tumbuh sekitar 30% per tahun, sementara pasar rakyat dan tradisional tumbuh -8% per tahun.

Dalam progres seperti di atas, 10 hingga 20 tahun ke depan, pasar tradisional terancam keberadaannya. Bahkan bila merujuk pada data dari Kementerian Perindustrian R.I menyebutkan, pada tahun 2007 terdapat 13.450 pasar tradisional. Sementara itu data Kementerian Peradagangan R.I pada 2011, tinggal 9.559 pasar tradisional.

Mengamati dari data itu terjadi penurunan jumlah pasar tradisional yang cukup drastis pada periode tersebut. Jumlah pasar tradisional lebih sedikit bila dibandingkan dengan sebaran minimarket yang jumlahnya melebihi 12.000 unit di seluruh Indonesia.

Seperti diketahui bersama, penetrasi retail modern di Indonesia semakin massif setelah terbit Perpres No. 112 Tahun 2007. Karena Perpres tersebut merupakan turunan dari UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Akan tetapi Perpres ini hanya sebagai pelindung retail modern. Di dalamnya diatur soal zona, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan, kelembagaan pengawas, dan sanksi. Perihal zona tata letak pasar tradisional dan pasar modern, menurut Perpres selanjutnya disusun oleh Pemerintah Daerah.

Faktanya, banyak Pemerintah Daerah yang lebih tertarik memberikan karpet merah kepada pemilik modal besar dan menggusur jauh pasar tradisional ke pinggiran kota yang akses transportasinya sulit. Fakta ini di temukan langsung oleh IKAPPI seperti di Kabupaten Purwakarta, Kota Kendari dan Kota Bengkulu.

Ekspansi retail ini berakibat langsung pada, pertama, penggusuran secara paksa pasar-pasar tradisional, bahkan di dalam banyak kasus, terjadi pembakaran-pembakaran pasar tradisional.

Kedua, kehilangan pekerjaan dalam angka yang luarbiasa. Bukan hanya pedagang pasar yang bekerja di situ, tetapi juga orang-orang lain yang terlibat di dalam lingkaran pasar tradisional, seperti buruh panggul yang menggantungkan hidup dari pasar tradisional.

Ketiga, hilangnya keanekaragaman pangan yang tersedia di pasar tradisional. Karena pangan-pangan yang disediakan di supermarket cenderung seragam. Pangan-pangan lokal tersingkir dengan adanya pangan-pangan kemasan.

Keempat, munculnya isu tentang keamanan pangan. Mereka mengatakan bahwa pasar tradisional itu tidak sehat, kotor, kumuh, sehingga perlu direvitalisasi dan dijadikan lebih 'bersih'. Hal ini kemudian yang di jadikan acuan untuk melakukan penggusuran.

Ekspansi retail ini juga berpengaruh kepada petani-petani skala kecil ataupun produsen pangan skala kecil lainnya seperti nelayan. Ketika dulu mereka dapat langsung menjual produknya ke pasar tradisional, pada hari itu juga mereka menerima bayaran. Jika mereka menjual barang produksinya ke super market, maka akan ada banyak sekali standar tinggi yang harus dipenuhi oleh produsen-produsen pangan skala kecil ini.

Sehingga yang terjadi adalah integrasi vertikal dari retail dan agribisnis yang biasanya merupakan jejaring dari bisnis mereka juga. Petani, nelayan dan produsen pangan skala kecil akan kehilangan pasarnya. Farmers market sudah sangat langka keberadaannya di kota-kota hingga ke wilayah pedesaan.

Tersingkirnya pasar Tradisional selama ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perawatan infrastruktur pasar tradisional rendah. Berdasarkan hasil survei Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di beberapa kota, model-model pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dilakukan dengan pola tidak jelas, cenderung menggunakan pendekatan birokrasi pemerintah. Pedagang dan pasar hanya dijadikan objek.

Kedua, belum adanya payung hukum berupa peraturan perundang-undangan yang menimbulkan sanksi tegas dan keras terhadap pelanggar regulasi industri ritel.

Ketiga, lemahnya kemauan politik pemerintah daerah untuk mengembangkan pasar tradisional. Hal itu tampak dari rendahnya dukungan dan keberpihakan pemerintah daerah dalam pembangunan fisik pasar tradisional.

Di Surakarta sebagai 'Kota Budaya', IKAPPI mengajak Dewan Perwakilan Daerah R.I, Dewan Perwakilan Rakyat R.I, Pemerintah baik Pusat juga Daerah untuk kembali mengevaluasi kebijakannya sehingga dapat berpihak kepada pasar tradisional sebagai salah satu motor pengerak ekonomi mikro di Indonesia.

Editor: Dodo