Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Harga LPG Diserahkan ke Pasar Bebas Dianggap Neolib dan Melanggar Konstitusi
Oleh : Surya Irawan
Jum'at | 10-01-2014 | 09:44 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta -  Mantan Menteri Koordinator Perekonomian era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Rizal Ramli menegaskan jika harga LPG, BBM, dan semua kekayaan alam yang strategis dan merupakan mendasar yang menyangkut hajat hidup rakyat, tak boleh diserahkan ke mekanisme pasar bebas.

iSebab, hal itu sudah dijamin konstitusi, dan melanggarnya berarti Pertamina, menteri, dan kepala Negara melanggar konstitusi.

Menyerahkan harga ke mekanisme pasar bebas itu melanggar UUD 1945. Karena itu, mereka termasuk kepala Negara harus memahami konstitusi. Kalau diserahkan ke pasar bebas seperti Amerika Serikat, apakah pendapatan rakyat Indonesia sudah sama dengan mereka, yang mencapai 35 ribu dollar AS?"  tegas Rizal Ramli dalam diskusi 'Gas alam untuk rakyat' di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Kamis (9/1/2014).

Rizal mempertanyakan kenapa produksi minyak terus merosot tapi biaya produksinya terus meningkat tiga kali lipat.

"Dulu rakyat dipaksa menggunakan LPG, tapi sekarang harganya dinaikkan. Jadi, perekonomian kita tanpa memberikan pilihan (choice) pada rakyat, sehingga selalu memaksa tapi tidak bertanggung jawab dan banyak monopoli,"  ujarnya heran.

Kalau hanya atas dasar pertimbangan bisnis komersial, maka Direktur Pertamina Karen Agustiawan, Meneg BUMN, dan Menko Perekonomian itu melecehkan UUD 1945 dan tidak memahami konstitusi. Karena itu, mereka perlu diberi kursus konstitusi.

"Bahkan dengan kasus LPG itu, Presiden pun tak memahami UUD. Ekonomi kita ini sejak Orde Baru memang neoliberal-kolonial," tambahnya.

Rizal Ramli mendengar ada rencana Pertamina mau membangun tower bertingkat 99, yang akan selesai tahun 2010 sebagai menara tertinggi ke-5 di dunia.

"Lho katanya merugi, lalu untuk apa membangun tower, yang tingkatnya disesuaikan dengan angka keberuntungan Presiden SBY. Pertamina sudah untung di luar negeri, kok malah mau untung juga di dalam negeri dengan menaikkan harga?" katanya memertanyakan.

Sedangkan Wakil Ketua  DPR RI FPDIP Effendi Simbolon merasa heran terhadap audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait Pertamina yang merugi sampai Rp 22,2 triliun dalam 6 tahun, sehingga tiba-tiba Pertamina harus menaikkan harga LPG 12 Kg menjadi Rp 118 ribu dari sebelumnya hanya Rp 75 ribu, atau naik sekitar 68 %.

Karena itu DPR ingin audit transparan, dan jangan sampai berbau politis menjelang pemilu 2014.

"Masak tiba-tiba Pertamina merugi, mana auditnya? Audit keuangan, atau hanya kinerja? Dari neraca Migas saja tidak ada. Kilang minyak senilai 3,8 juta dollar AS pun terus dibangun oleh Singapura, agar Indonesia ketergantungan pada Singapura sampai kiamat," tandas Effendi 

Dia heran dalam kasus kenaikan LPG 12 Kg itu banyak yang berkomentar meski bukan bidangnya di DPR RI, tapi Komisi VII DPR sendiri diam-dam saja, dan Demokrat langsung menolak. Padahal, sebelumnya menyatakan tidak bisa intervensi Pertamina. Baik Meneg BUMN Dahlan Iskan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa maupun Presiden sendiri. Tapi, dua hari kemudian pemerintah terbukti bias intervensi.

"Ini ada apa sebenarnya? Harusnya semua terbuka, termasuk hasil audit BPK itu," ujarnya.

Bahwa Pertamina itu kata Effendi, merupakan pelaku tunggal dalam dan mendapat keuntungan besar dari PSO (public service obligation) sebanyak 48 juta kilo liter BBM per tahun selama ini.

"PSO itu diberikan kepada Pertamina, lalu rencana bangun tower 99  tingkat itu, apakah masih rugi? PLN pun demikian. Untuk itu, rakyat bias melakukan class action-gugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena ketidaktransparanan dan bahkan melanggar konstitusi," tambahnya.

Tulus Abadi dari YLKI menegaskan jika Hatta Rajasa sebagai pejabat paling aneh dalam kebijakan Migas ini.

"Dulu bilang momentumnya tidak tepat, terus dikonversikan, dan sekarang dinaikkan. Energi ini kebutuhan dasar rakyat, tapi tidak dibangun dengan visi kebangsaan yang jelas, sehingga akan terus merugikan rakyat," tegas Tulus.

Sementara kebutuhan gas Singapura 100 % dari Indonesia, demikian pula transportasi China. Harusnya kebutuhan gas itu untuk dalam negeri, tapi malah diekspor. Karena itu, mahalnya harga BBM selama ini, akibat banyak mafia Migas.

"Maka membangun kilang minyak pun, agar tak tergantung Singapura ditolak oleh mafia. Ini yang mesti dibereskan agar bisa memenuhi kebutuhan rakyat," ungkapnya kesal.

Editor : Surya