Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wamen ESDM Yakini Pengolahan Mineral Dongkrak Nilai Tambah 10 Kali Lipat
Oleh : Redaksi
Senin | 23-12-2013 | 16:12 WIB
2smelter.jpg Honda-Batam
Smelter pengolahan bijih mineral. 

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Menteri energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo, mengatakan, pembangunan smelter secara ekonomis adalah hal logis, sementara sejumlah perusahaan tambang akan mendapat pengecualian larangan. Hal itu diutarakan Susilo menyikapi keluhan sejumlah pengusaha penambangan akibat larangan ekspor bijih mineral.

Pengusaha beralasan, pembangunan smelter terlalu mahal dan membutuhkan waktu pengerjaan yang lama. Namun dia menegaskan, pengolahan mineral justru akan mendongkrak nilai tambah.

"Perusahaan hanya ingin menambang dan menjual. Mereka seharusnya sejak dulu melakukan studi kelayakan. Pengolahan mineral akan mendongkrak nilai tambah 10 kali lipat," ujar Susilo dalam wawancara khusus dengan The Wall Street Journal.

Mengenai kesulitan yang bakal dihadapi pengusaha, Susilo juga tak menampik. Namun itu sifatnya hanya sementara.

Dia mencontohkan perusahaan besar seperti Freeport, Newmont, dan Vale, yang telah berpuluh-puluh tahun menikmati hasil bisnis dari ekspor bijih mineral. "Akan sangat sulit bagi rakyat Indonesia dan DPR untuk memahami pendapat bahwa (pembangunan smelter) tidak ekonomis. Namun, itu adalah mentalitas. Sulit bagi perusahaan untuk menerima pandangan bahwa mereka punya cukup (modal) untuk membangun smelter," katanya.

Menurut Susilo, undang-undang mengenai pertambangan mineral dan batubara yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur bahwa semua sumber daya alam harus diproses dan dimurnikan di Indonesia. Sumber daya alam harus dipergunakan demi kemakmuran rakyat. 

"Kami tak ingin hanya berbicara tentang mengeruk (hasil tambang) dari tanah lalu menjualnya. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," tegasnya.

Larangan itu menempatkan memang Indonesia dalam posisi sulit. Tahun ini neraca perdagangan dan transaksi berjalan mengalami defisit. Menerapkan larangan bijih akan berujung kerugian miliaran dolar.

Karena itu, katanya, pemerintah harus menyiasati ketidaksiapan industri untuk memulai pemurnian pada Januari mendatang. Namun, upaya itu ditentang oleh DPR.

Meski demikian, imbuh Susilo, bagi pengusaha yang serius membangun smelter, mereka perlu diberikan kesempatan untuk terus mengekspor berdasarkan kapasitas smelter yang tengah dibangun dalam waktu dua hingga tiga tahun. 

"Kami ingin memastikan, pertama, bahwa perusahaan yang sangat bersungguh-sungguh dapat terus beroperasi dan menyediakan lapangan kerja. Itu masalah sensitif," terangnya.

Sementara, mengenai keraguan investor untuk menanamkan modal di sektor pertambangan akibat diberlakukannya UU Minerba tersebut, Susilo tetap optimis jika Indonesia masih menjadi tempat investasi. 

"Potensinya masih ada. Tentang masalah ketidakjelasan, kami masih berfokus untuk memangkas proses perizinan, pengambilalihan lahan, dan kerja sama antardepartemen, guna menanggapi keluhan investor," ujarnya. (*)

Editor: Dodo