Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Akuntabilitas Pelayanan Publik BUMN Dipertaruhkan

PATTIRO Desak MK Tolak Judicial Review yang Diajukan Forum BUMN
Oleh : Redaksi
Jum'at | 06-12-2013 | 16:06 WIB
mahkamah_konstitusi.jpg Honda-Batam
Mahkamah Konstitusi.

BATAMTODAY.COM - Judicial Review (Uji Materi) terhadap Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan mulai memasuki babak akhir dan telah memicu kontroversi di mata publik.

Kondisi publik pun terbelah, sebagian berharap MK segera mengabulkan, sebagian meminta MK tidak gegabah dalam memutuskan, dan sebagian yang lain berharap MK menolak judicial review yang diajukan Forum BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Biro Hukum Kementerian BUMN dan Pusat Pengkajian Masalah Strategis Universitas Indonesia (PPMSUI) kepada Mahkamah Konstitusi (MK)  tersebut.

Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) berpendapat sebaiknya MK menolak uji materi tersebut, karena jika dikabulkan akan menyulitkan publik (masyarakat) untuk mengukur dan menilai akuntabilitas sosial dari pelayanan publik yang diberikan oleh BUMN. 

Pada pasal 1 ayat 3 Undang-undang nomor 24 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang dimaksud dengan Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lainnya yang berfungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Jika uji materi tersebut dikabulkan MK, maka akan terjadi pemisahan pengelolaan keuangan negara, sehingga uang negara yang ada di BUMN dianggap bukan bagian dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sehingga akan muncul anggapan bahwa BUMN bukan lagi merupakan badan publik.

"Jika tidak lagi sebagai badan publik, maka BUMN tidak lagi berkewajiban memberikan informasi kepada publik, sehingga akan menyulitkan bagi publik untuk mengukur dan menilai akuntabilitas sosial dari keberhasilan pelayanan publik yang diberikan oleh BUMN," kata Sad Dian Utomo, Direktur Eksekutif PATTIRO, Jumat (6/12/2013). 

Padahal, pasal 2 ayat 1 bagian c UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN menyebutkan, salah satu maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. 

Selain itu, jika uji materi tersebut dikabulkan, persepsi bukan sebagai badan publik dikhawatirkan akan diikuti oleh lembaga atau badan publik lainnya, misalnya oleh perguruan tinggi atau lembaga lain yang menerima dana dari APBN atau APBD.

Utomo mengatakan sebenarnya, pengajuan judicial review kedua UU tersebut berawal dari pengelola BUMN yang tidak ingin diseret ke pengadilan hanya karena kerugian BUMN dengan mudah dapat dinyatakan sebagai kerugian negara. Untuk itu, ada upaya untuk memisahkan kekayaan negara yang ada di BUMN dan dinyatakan bukan merupakan bagian dari keuangan negara. Selain itu, fungsi BPK sebagai juru periksa keuangan negara harus disingkirkan dari BUMN.

Dia memberikan perbandingan, untuk mengendalikan BUMN yang dimiliki agar tetap fungsional, negara Cina menerbitkan Undang-Undang tentang Kekayaan BUMN, yang sering disebut sebagai Undang-Undang Kekayaan Negara.  Dalam undang-undang tersebut, pemisahan kekayaan negara yang ada di BUMN diterapkan namun dengan tetap memberikan kewenangan negara untuk melakukan supervisi, dan pengawasan melalui badan audit mereka.

"Dengan kata lain, kekayaan negara yang ada di BUMN dipisahkan, namun kewajiban BUMN sebagai badan publik tetap dipertahankan," tegas dia.

Penghapusan ketentuan mengenai kekayaan negara yang dipisahkan dan menyingkirkan BPK dari BUMN dan badan publik lainnya yang menerima dana dari APBN dan APBD, merupakan pemikiran yang salah, sehingga uji materi UU Keuangan Negara dan UU BPK ini tidak relevan dan harus ditolak oleh MK.

Menurut Utomo, sebenarnya Indonesia lebih memerlukan Undang-Undang yang mengatur tentang kekayaan negara, termasuk kekayaan yang dipisahkan di dalamnya. Undang-Undang ini nantinya juga akan mengatur tentang batasan kerugian negara terkait pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, fungsi BPK secara lebih proporsional, dan secara khusus siapa lembaga yang berwenang menangani ketika terjadi korupsi.

Editor: Dodo