Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Bahas Intensif RUU Perdagangan agar Bukan Jadi Kepentingan Asing
Oleh : Surya
Selasa | 22-10-2013 | 16:42 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Untuk mengukur sebuah aturan perundang-undangan itu berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi, dan bukan untuk kepentingan asing, khususnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan, yang dibahas oleh Komisi VI DPR RI sekarang ini.

 

Karena itu DPR diharapkan harus berani memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaduit seluruh perjanjian perdagangan internasional, dan RUU ini harus sejalan dengan amanat konstitusi.

"FPDIP DPR siap melakukan itu. Sebab, dampak dari liberalisasi ekonomi sekarang ini Indonesia mengalami defisit transaksi sampai 70 persen, karena kebih banyak impor daripada ekspornya sejak Januari 2010 sampai 2013 ini. Untuk itu, deindustrialisasi itu harus dievaluasi,"  tegas Arya Bima Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dalam diskusi 'RUU Perdagangan'bersama pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noersy, dan pengajar fakultas ekonomi UI Surjadi di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (22/10/2013).

Menurut Arya Bima, RUU Perdagangan yang sudah diperbaiki oleh pemerintah, yang terdiri dari 438 daftar inventarisasi masalah (DIM), akan dibahas sampai Januari 2014.

"Dalam kurun waktu itu pasti akan banyak berbagai kepentingan yang masuk. Karena itu harus dikawal oleh masyarakat agar menghasilkan sebuah UU yang berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi, dan bukannya untuk kepentingan asing atau liberalisasi," ujarnya.

Sebelumnya RUU yang diajukan oleh Kemendag Gita Wiryawan tersebut sempat dikembalikan oleh Komisi VI DPR RI, dan sudah diperbaiki khususnya yang berbau neolib, dan bertentangan dengan amanat UUD 1945.

RUU ini akan mengatur masalah perdagangan terkait dengan kedaulatan pangan, pedagang kecil dan mnenengah (UKM), termasuk masuknya ritel seperti Alfamart, Indomart, dan mall-mall yang sudah masuk kabupaten/kota di Indoensia.

FPDIP sendiri kata Arya Bima akan mencermati RUU ini secara ideologis, misalnya dalam memproteksi pasar-pasar tradisional.

"Di mana kebijakan ritel yang diputuskan dengan Perpres per 1 Januari tersebut harus dievaluasi, karena terbukti kompetisi perdagangan kita tak berimbang. Yaitu banyak dikuasai barang-barang impor, sedangkan impor kita minus. Sehingga banyak terjadi kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat akhir-akhir ini termasuk kedelai,"  tambahnya.

Sementara itu Surjadi mengingatkan jika banyak sebuah RUU yang mempunyai spirit nasionalisme, tapi begitu ditungkan dalam perundang-undangan malah bertabrakan dengan UU yang lain, sehingga terjadi tumpang-tindak peraturan. Termasuk UU otonomi daerah yang mengatur hubungan pusat dan daerah, juga PP No.38/2007 yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah.

"Belum lagi masih banyak masalah internal di Kemendag RI sendiri, yang terjadi antar Dirjen, dan dengan kementerian terkait seperti perindustrian,"  tuturnya.

Kepentingan asing
Sementara itu, pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noersy menegaskan jika setelah membaca naskah akdemik RUU Perdagangan Kemendag RI yang disampaikan ke DPR RI ini neoliberal, untuk kepentingan asing, dan tak ada usaha untuk menciptakan kedaulatan ekonomi bangsa.

Apalagi ada 29 UU yang terkait dengan RUU Perdagangan ini, dan itu sama sekali tidak disinggung, sehingga seolah-olah RUU ini berdiri sendiri, dan tak terkait dengan UU yang lain.

"Jadi, DIM RUU itu bukan untuk menegakkan konstitusi, karena tidak disusun berdasarkan kekeluargaan. Maka wajar kalau naskah RUU ini tunduk pada pasar bebas dunia atau WTO, karena WTO memang tak pernah menyinggung kedaulatan ekonomi, melainkan hanya ketahanan ekonomi. Di mana Indonesia merupakan pasar potensial asing," tandas Inchsanuddin.

Jika RUU ini dibiarkan lolos begitu saja kata Ichsanuddin, maka sama dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi bangsa ini kepada asing. Apalagi konsep perlindungannya semua, yaitu hanya ketika terjadi kelangkaan dan harga-harga barang kebutuhan pokok naik, pemerintah baru turun tangan.

"Tak ada perlindungan jangka panjang, karena tergantung pada kasus kelangkaan dan harga-harga naik, bagaimana?" katanya mempertanyakan.

Globalisasi memang suatu keniscayaan, tapi jangan terjebak pada globalisme di mana semua kepentingan asing dan global menggerogoti kedaulatan ekonomi, kedaulatan, pangan, dan kedaulatan bangsa ini. Sehingga Indonesia akan tergantung kepada asing, impor, dan terus menumpuk utang luar negeri.

"Transaksi elektronik dari kartu kredit, ATM dan sebagainya, ternyata semua milik asing yaitu visa dan master card. Jadi, tak ada yang berbasis kekuatan nasional,"  tambah Ichsanuddin.

Selain itu dalam berbagai kebijakan ekonominya, Amerika Serikat tak pernah menyinggung geopolitik, mengapa?

"Karena itulah kepentingan Amerika, agar bisa menguasai pasar Indoensia. Untuk itu dalam penyediaan barang dagangannya, yang terpenting cepat (speed), kuat (stamina), dan tepat (ackrat). Jadi, RUU Perdagangan ini ahistoris karena kerangka berpikir ke depannya salah, maka perlu semua perjanjian perdagangan internasional itu diaudit," ujarnya.

Dengan demikian katanya, siapapun presidennya di 2014 mendatang, tak akan bisa memperbaiki perekonomian bangsa ini, karena semua UU-nya menggilas.

"Semua UU nya neolib, dan sulit bisa memperbaiki satu per satu dari 29 UU khususnya yang terkait dengan UU Perdagangan ini,"  pungkasnya.

Editor : Surya