Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menanti Pukulan 'Hook' Selanjutnya dari KPK
Oleh : Redaksi/Opini
Rabu | 16-10-2013 | 09:47 WIB

Oleh Alif Kamal

HOOK DALAM arti bahasa Indonesia adalah kait. Posisi tangan berbentuk kait inilah yang sering digunakan oleh seorang petinju dalam melontarkan pukulan, biasa dikatakan pukulan hook. Baik tangan kanan ataupun kiri posisi pukulan ini bisa dilakukan dan dalam dunia tinju pukulan ini sangat mematikan.

Petinju kelas berat dunia Mike Tyson sangat ditakuti lewat pukulan hooknya, hampir bisa dipastikan lawan tandingnya seketika akan roboh manakala pukulan ini telak mengenai wajahnya.
Begitu pula dengan Ellyas Pical, petinju Indonesia yang tenar di tahun 80-an ini juga dikenal memiliki pukulan hook kiri yang keras.

Karena sangat mematikan, pukulan hook ini ibaratnya sama dengan apa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Muchtar. Bangunan penegakan konstitusi seakan-akan runtuh seketika. Penangkapan Akil Muchtar, yang kemudian ditetapkan jadi tersangka, seolah-olah mematikan penegakan konstitusi bangsa ini. Bahkan berita penangkapan ketua MK ini sempat menjadi heboh di media internasional.

Pun ada respon cepat dari berbagai pihak, misalnya Presiden yang mengeluarkan Perpu, kemudian dibentuknya Majelis Kehormatan Konstitusi (MKK) oleh MK. Namun, semua yang dilakukan tak lagi membuat rakyat percaya akan penyelenggara negaranya, terutama dalam pemberantasan korupsi. Berbagai pihak mengatakan negara kita sudah tergolong darurat korupsi, bahkan Presiden SBY sendiri menyebut penangkapan ketua MK ini sebagai 'tragedi keadilan'.

Setelah beberapa waktu yang lalu KPK menetapkan Andi Alfian Malarangeng dan Luthfi Hasan Ishak sebagai tersangka, kemudian menangkap Rudi Rubiandini (Kepala SKK Migas), penangkapan Akil Muchtar tentunya sebuah langkah maju bagi KPK dalam melaksanakan tugasnya.  Penangkapan ini bisa dikategorikan sebagai kelas "kakap". Dan pastinya seluruh rakyat Indonesia berharap KPK di bawah kendali Abraham Samad sekarang ini tak berhenti hanya pada Akil Muchtar. Harapan ini tentunya harus terus didorong maju, mengingat kasus korupsi dalam kategori "kakap" masih banyak terpampang di meja KPK.

Katakanlah kasus Century dan BLBI misalnya. Untuk kasus Century, dari pemeriksaan berbagai pihak yang dilakukan oleh KPK menerangkan dengan jelas bahwa Wapres Budiono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur BI terlibat dalam rapat Fasilitas Pinjaman Jangka Panjang (FPJP) kepada Bank Century. Sedangkan untuk kasus BLBI, seperti yang pernah disampaikan oleh Bambang Soesatyo (merdeka.com, 25 januari 2013) nama Wapres Budiono yang saat itu juga masih menjabat sebagai Gubernur BI tertera dalam putusan MA dengan nomor 979 K/PID/2004 dan nomor 981 K/PID/2004. Dalam putusan ini Budiono bersama direksi yang lain telah merugikan negara sebesar Rp 18.164.798.150.266,51.

Dengan data dari 2 kasus ini Wapres Budiono sudah semestinya dipanggil oleh KPK. Prinsip hukum bahwa semua warga negara sama posisinya didepan hukum semestinya bisa menjadi pijakan awal dari KPK untuk melancarkan pukulan "Hook" selanjutnya terhadap pemberantasan korupsi di negara ini. Semoga!!!

Penulis adalah Staf Deputi Politik Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.