Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ketika Tsunami Korupsi Menerjang MK
Oleh : Redaksi/Opini
Sabtu | 05-10-2013 | 14:50 WIB

Oleh Aripianto

TULISAN INI berangkat dari suatu keprihatinan penulis akan kondisi bangsa saat ini yang benar-benar dibuat carut-marut dan berantakan oleh segelintar koruptor. Entah harus kemana masyarakat untuk mengadu dan menaruh setetes kepercayaan untuk mengelolah negara ini. Harapan masyarakat kini kembali pupus setelah Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Sungguh disayangkan lembaga tinggi negara dengan sangat tega melukai hati masyarakat kita. Sungguh nyata sekarang, Republik Indonesia memang seperti negeri yang jantungnya sedang berhenti berdenyut akibat berbagai komplikasi (korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, inkopetensi, demoralisasi). Sehingga sistem syaraf untuk menggerakan seluruh tubuh negara tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Tak ada yang aneh dan baru soal penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), intervensi penguasa terhadap lembaga-lembaga hukum, memakai institusi negara untuk meredam lawan-lawan politik, mafia hukum, mafia ekonomi, penguasa menjadi broker politik yang melahirkan korupsi terlindungi, demokrasi kriminal yang melahirkan para kriminal.

Kasus korupsi yang tejadi di MK seperti tsunami yang meluluhlantakan lembaga tersebut. Kasus ini mengalir tak terkendali dalam pemberitaan di media-media massa. Komisi Pemberantasan Korupsi pun menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka dalam dua kasus sekaligus terkait suap sengketa Pilkada Gunung Mas dan Kabupaten Lebak. Selain Akil Mochtar, KPK turut juga menetapkan anggota DPR RI Chairun Nisa menjadi tersangka.

Dalam jumpa pers yang digelar pimpinan KPK, yakni Ketua KPK Abraham Samad, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Deputi Penindakan KPK Warih Sadono dan Jubir KPK Johan Budi SP, beserta Wakil Ketua MK Patrialis Akbar di gedung KPK, KPK menyatakan menetapkan total enam tersangka dari 13 orang yang terperiksa. Dan pada saat bersamaan, KPK juga menyita barang bukti berupa uang sekitar Rp 3 miliar dalam bentuk dollar Singapura. Uang itu diduga untuk menyuap Akil Mochtar terkait sidang sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Jika kita lihat penangkapan Ketua MK Akil Mochtar yang di lakukan KPK, telah menyempurnakan perkara-perkara korupsi yang ada. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh satu dua lembaga saja, tapi juga seluruh lembaga mulai dari tingkat daerah sampai pusat. Kasus ini juga menyempurnakan perkara korupsi yang dengan terkait partai politik, bukan hanya satu dua partai politik saja, tapi sudah semuanya terlibat.

Polemik Pilkada
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran. Belum lagi biaya yang begitu besar, baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi), sosial (issue tentang disintegrasi sosial walaupun sementara, black campaign dll.)  maupun financial.

Masalah pemenangan pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif  harga diri pribadi (adu popularitas) ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan, terkait juga  kehormatan Parpol pengusung harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah.

Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena "politics is the struggle over allocation of values in society". (Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislatif atau pilkada sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government). Dalam kerangka ini cara-cara "lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise" seringkali terkandung di dalamnya.

Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik  UU No. 2 Tahun 2008, yang telah dirubah dengan UU No. 2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada. Akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon, serta banyak perda-perda yang bermasalah dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.

Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
Membaca Pesan Bung Karno.

Pada  tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas sistem pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali.

Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa sistem demokrasi pada umumnya dan sistem pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang "legal sistem" sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa  sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa beragai produk legislatif yang mendasari sistem hukum tersebut, kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani sistem tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari sistem hukum tersebut.

Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transaksional dan pragmatisme masih menonjol, belum lagi munculnya multitafsir dan sikap mendua dalam berbagai hal. Apalgi budaya hukum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan.

Harapan kita sebagai bangsa, dan para elit khususnya mau berubah jika benar-benar ingin membangun kembali Indonesia menjadi lebih baik, adil, aman, sejahtera, gemah ripah loh jinawe, sebagaimana wasiat Sang Proklamator Soekarno: "Kita ingin mendirikan satu Negara, 'semua buat semua', bukan satu Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan Negara "semua buat semua".

Salah satu ekspersi Bung Karno saat berorasi di Semarang, Jawa Tengah. Mengatakan "Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto impala, auto mercedes, gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul. Tiap-tiap hari makan empat, lima, enam, tujuh kali. Ya, seluruh rumahnya itu laksana ditabur dengan ratna mutu manikam, kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang tebal dan indah. Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat. Tapi orang yang demikian itu menjadi kaya oleh karena KORUPSI. Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan Yang Maha Esa, adalah orang yang rendah. Di wajah Tuhan Yang Maha Esa dia adalah orang yang rendah! BK, Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia, 12 Mei 1964.

Penulis Adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau.