Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ketika Booming Penerbangan Memicu Ledakan Karbondioksida di Udara
Oleh : Redaksi
Jum'at | 27-09-2013 | 09:04 WIB
12917.jpg Honda-Batam
Kredit foto: airnewstimes.co.uk

BATAMTODAY.COM, Montreal - Bisakah industri penerbangan turut melindungi iklim? Konferensi Internasional Organisasi Aviasi, ICAO (24.09 – 04.10.2013) di Montreal mencari jalan keluar.


Seharusnya setelah 2012, setiap penerbangan dari dan keluar Eropa wajib membayar biaya gas buang. Komisi Uni Eropa berharap, pemberlakuan sistem perdagangan emisi akan mengurangi peningkatan emisi karbon dioksida. Namun rencana Eropa ini menuai protes keras dari seluruh dunia.

Komisi Uni Eropa kemudian memetieskan perdagangan emisi untuk penerbangan asing, namun hanya hingga Konferensi Internasional Organisasi Aviasi, ICAO.

Kini konferensi ini tengah berlangsung di Montreal, Kanada. Temanya perlindungan iklim dan standar emisi gas bagi industri penerbangan. Protokol Kyoto, pada tahun1997 sudah menetapkan target ini, namun hingga kini - 16 tahun kemudian- belum ada kesepakatan internasional. 

Apabila tidak ada kemajuan dalam pertemuan (24.09 – 04.10.2013) para delegasi dari 200 negara anggotanya, maka Uni Eropa akan secara sepihak mengaktifkan kembali sistem itu.

"Penerbangan merupakan sektor industri yang pertumbuhannya paling cepat. Akibatnya emisi gas sektor inipun meledak," ungkap Christoph Bals, direktur organisasi perlindungan iklim Germanwatch. 

Dalam pembicaraan dengan DW ia menjelaskan, bahwa industri penerbangan saat ini menyebabkan lima hingga delapan persen perubahan iklim global. Oleh sebab itu sangat diperlukan upaya untuk menguranginya.

Uni Eropa sebelumnya merencanakan pemberlakuan sistem perdagangan emisi bagi seluruh industri penerbangan. Kaitan antara perlindungan iklim dengan ekonomi pasar diharapkan mendorong pengurangan emisi. 

Bilamana tidak, maka perusahaan-perusahan tersebut harus membeli sertifikat CO2 dari perusahaan lain yang memilikinya. Saat ini harga per ton karbon dioksida antara 5 hingga 15 Euro. Sebuah pesawat besar modern yang terbang dari Frankfurt ke Los Angeles mengeluarkan 600 ton CO2.

Cina merupakan salah satu negara yang paling vokal menentang sistem emisi yang ingin diberlakukan Uni Eropa. 

Wakil Direktur Ikatan Aviasi Cina, CATA, Chai Haibo pernah menjelaskannya kepada DW, "Uni Eropa bahkan sudah ingin menarik bea pada penerbangan yang berawal di Beijing hingga tiba di Frankfurt, padahal jalur tersebut awalnya melewati wilayah Cina, Mongolia dan Rusia. Uni Eropa tentu bisa memberlakukan peraturannya di wilayah sendiri, tapi tidak di kawasan udara tetangga". Hampir semua negara non-Uni Eropa mendukung pandangan Cina.

Karenanya, Komisi Eropa menunda pemberlakuannya. Hanya penerbangan di dalam Eropa yang tetap harus membeli sertifikat CO2. Thomas Kropp dari Lufthansa melihat ancaman kerugian. 

Kepada DW dikatakannya, "Maskapai Amerika tidak harus membayar sepeserpun untuk penerbangan langsung dari Hamburg ke New York. Tapi penerbangan dari Hamburg lewat Amsterdam, kemudian baru terbang ke New York, akan harus membayar bea untuk wilayah Uni Eropa". 

Karenanya Lufthansa ingin sistem perdagangan emisi itu diberlakukan global.
Pemberlakuan sistim ini secara global, menurut jurubicara komisi Uni Eropa Isaac Valero Ladron, bisa mengurangi emisi penerbangan sebanyak 30 persen. 

"Tak ada alasan untuk menentangnya." Namun Christoph Bals dari organisasi Germanwatch lebih pesimis. Menurut dia, harapan tipis bahwa para delegasi akan mencapai kesepakatan bersama. (*)

sumber: Deutcshe Welle