Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Natuna Akan Gabung ke Provinsi Kalbar

Abdurrahman Lc: Rentang Kendali bukan Alasan Mendasar
Oleh : Redaksi/Andri
Jum'at | 22-04-2011 | 14:54 WIB

Batam, batamtoday - Ketua DPW PKS Kepri Ust. Abdurrahman Lc mulai menanggapi rencana Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk menggabungkan Kabupaten Natuna ke Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Menurutnya, alasan rentang kendali bukan alasan mendasar.

Secara budaya, Abdurrahman memastikan Kabupaten Natuna memiliki keterikatan budaya yang sangat erat dengan provinsi Kepri yakni kemelayuan yang amat kental. Untuk itu, rencana mendagri tersebut belum dapat disebut keputusan akhir.

"Tentu harus ada persetujuan Pemerintah Provinsi Kepri terlebih dahulu, dan kita akan berjuang untuk mempertahankannya," katanya menjawab batamtoday ketika dihubungi, Jum'at 22 April 2011.

Selain itu, letak geografis Natuna serta aktifitas penggalian Sumberdaya Alam (SDA) nya yang tengah eksis tentu saja menjadi pertimbangan mendasar dalam suatu aturan pengalihan suatu daerah.

Meski demikian, Abdurrahman mengungkapkan bahwa pernyataan mendagri tersebut merupakan cambuk bagi pemerintahan provinsi Kepri saat ini, agar dapat lebih memperhatikan lagi daerahnya yang terjauh.

"Ini seperti sebuah peringatan saja, semoga akan berdampak pada semangat pengelolaan daerah terjauh," katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berencana menggabungkan Kabupaten Natuna ke Provinsi Kalimantan Barat. Rencana itu didasarkan atas jauhnya rentang kendali pusat pemerintahan Kepri di Tanjungpinang. Rencana ini dilontarkan Mendagri seiring penyusunan Desain Besar Penataan Daerah (Desertada) yang memungkinkan menggabungkan satu kabupaten/kota untuk dengan provinsi lain.

“Di dalam Desertada, penyesuaian ini sangat besar. Kalau kita sebut Natuna, dia lebih dekat ke Kalimantan Barat. Maka kalau berpikir efektifitas, kalau masyarakat dan Pemdanya setuju, lebih efektif kalau bergabung ke provinsi lain (Kalbar),”  ujar Mendagri, saat membuka seminar Diseminasi Desertada hasil kerja sama Kemendagri dan Partnership for Governance Reform (Kemitraan) di Jakarta, Rabu 20 April 2011 lalu.

Mantan Gubernur Sumatera Barat ini juga mengingatkan bahwa, penggabungan itu semakin terbuka lebar jika daerah gagal melakukan pemekaran sesuai UU 32 (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda). Namun pemerintah tidak akan terburu-buru. Penggabungan dilakukan setelah dilakukan evaluasi sekurang-kurangnya selama tiga tahun.

Mendagri menyebutkan, hanya 22 daerah otonom baru yang dianggap sukses. “Sementara 78 persen belum baik (termasuk Natuna). Kemungkinan ini disebabkan karena begitu dimekarkan langsung jadi daerah otonom,” paparnya.

Lebih lanjut Mendagri menguraikan, aturan juga memungkinkan pemekaran daerah dilakukan oleh pusat. Misalnya daerah perbatasan negara yang dianggap strategis, maka demi keamanan dan kesejahteraan bisa dimekarkan tanpa perlu aspirasi dari bawah.

Karenanya dalam Desertada, pemerintah mengusulkan daerah yang baru saja dimekarkan tidak langsung jadi daerah otonom, namun menjadi daerah persiapan terlebih dulu. Daerah yang dimekarkan akan menjadi daerah persiapan selama 3 tahun, baru dilepas jadi daerah otonom.

Selama masa persiapan itu, lanjut Mendagri, akan dilakukan klarifikasi tentang ketergantungan daerah dalam kebijakan anggaran. Alasannya, 78 persen daerah baru ternyata biaya belanja aparaturnya lebih besar dari belanja publik.