Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tanggapi 4 Kebijakan Ekonomi Pemerintah

Harry Azhar Sebut 4 Kebijakan Ekonomi sudah Terlambat
Oleh : Surya
Jum'at | 23-08-2013 | 19:05 WIB
harryazhar.jpg Honda-Batam

Wakil ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Partai Golkar menilai Empat (4) Paket Kebijakan Ekonomi yang baru dikeluarkan pemerintah sudah terlambat. Tak hanya itu, kebijakan itu juga tidak konkrit untuk mengatasi kondisi krisis ekonomi yang terjadi saat ini.


Menurut Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Harry Azhar Azis, Paket Kebijakan Ekonomi Makro yang baru saja diumumkan oleh Presiden SBY melalui Menko Perekonomian Hatta Rajasa seharusnya sudah diluncurkan sejak awal. 

"Problemnya, implementasi dan birokasinya. Apakah sudah siap? Masalah lain, saya lihat di sini pola anggaran tidak berubah. Jadi untuk kebijakan seperti ini yang perlu anggaran tambahan dari mana biayanya," kata Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR di menanggapi 4 Paket Kebijakan Presiden SBY melalui Menteri Perekonomian Hatta Rajasa untuk mengantisipasi gejolah di pasar uang di Jakarta, Jumat (23/8/2013).

Yang terpenting saat ini, lanjutnya, adalah bagaimana menetralisir penurunan nilai rupiah. Sejauh ini tidak ada kejelasan. Peluang untuk rupiah melemah akan tetap terjadi. Untuk itu, apakah langkah-langkah pemerintah bisa menyerap nilai ekonomi dari pelaku ekonomi seperti eksportir atau importir.

Karena itu, pemerintah diharapkan segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk meredam gejolak rupiah. Salah satunya, pemerintah harus memanggil spekulan yang bermain dibalik krisis terpuruknya rupiah atas dolar AS.


"Pemerintah harus mengambil langkah-langkah konkrit. Siapa yang bermain di balik terpuruknya rupiah. Ini kan ada pemainnya. Dipanggil saja," ujarnya.

Harry khawatir 4 Paket Kebijakan yang diumumkan pemerintah belum cukup mampu meredam gejolak ke depan. "Sebab itu dalam dalam satu atau dua pekan ke depan aksi para spekulan ini belum akan mereda," papar Harry.

Anggota Fraksi Golkar ini juga mengatakan, negara harus tegas terhadap ulah spekulan, sebab mereka jeli melihat sinyal-sinyal suatu mata uang di pasar uang. Bukan tidak mustahil, para spekulan rupiah akan tetap mencari peluang-peluang yang bisa mereka gunakan untuk meraih keuntungan pribadi meskipun hal itu berdampak anjloknya rupiah.

Dikatakan Harry, tidak benar bila gejolak ini semata-mata disebabkan oleh faktor ekstenal membaiknya perekonomian di Amerika Serikat. Lebih dari itu, momentum ini digunakan oleh para spekulan rupiah.

"Negara harus tegas, mereka (spekulan) ini bila dibatasi aktifitasnya hanya dengan pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing, mereka bisa mencari peluang baru yaitu pasar illegal atau pasar gelap rupiah (rupiah black market). Mereka ini licin dan mudah mencari terobosan-terobosan baru," papar Harry.

Bila perlu pemerintah mencabut izin perusahaan mereka. "Sebab mereka ini yang modal besar dan punya perusahaan besar. Cabut saja!" ujar Harry.

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Sekjen Partai Golkar, Hariyadi B. Sukamdani mengamini pandangan Harry Azhar Azis. Menurut Hariyadi, konsep pemerintah bagus namun sektor riil saat ini masih menunggu dan menanti (wait and see) teknis dari seluruh keputusan tersebut.

"Misalnya dikatakan perihal pemotongan pajak ke perusahaan padat karya, teknisnya seperti apa. Demikian juga yang dikatakan sebagai stimulus. Seperti apa. Teknisnya masih kami tunggu," ujarnya.

Sebenarnya, lanjut dia, sejak 2010 Golkar sudah berulang kali memperingatkan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang tidak sekadar berorientasi populis. Jika hasilnya sekarang seperti ini, artinya ya memang terlambat.

Seperti diketahui, pemerintah mengumumkan empat paket kebijakan ekonomi. Paket pertama untuk menjaga neraca transaksi berjalan dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Langkah yang ditempuh, pertama, mendorong ekspor dengan memberi pengurangan pajak di sektor padat karya yang memiliki ekspor minimal 30 persen dari nilai produksi.

Kedua, menurunkan impor migas dengan meningkatkan biodisel untuk mengurangi konsumsi solar dari impor. Ketiga, menetapkan pengenaan pajak impor barang mewah, seperti mobil, branded product, yang sekarang berkisar 75 persen menjadi 125-150 persen. Keempat, menjalankan langkah-langkah memperbaikin impor mineral melalui relaksasi prosedur yang terkait kuota.

Paket kedua, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. "Pemerintah akan memberikan insentif dengan tetap memastikan defisit fiskal kita berada pada kisaran 2,38 persen. Pemerintah memastikan pembiayaan APBN-P 2013 dalam kondisi aman," ujar Menteri Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Jumat (23/8)

Paket ketiga terkait langkah untuk menjaga daya beli masyarakat dan menjaga tingkat inflasi. "Untuk mengatasi inflasi, maka pemeirntah akan mengubah tata niaga, seperti daging sapi dan hortikultura, dari pembatasan kuota ke makanisme harga," Menko Perekonomian menambahkan.

Paket keempat adalah mempercepat investasi. Untuk itu pemerintah akan mengambil langkah-langlah seperti menyederhanakan izin dengan mengefektifkan pelayanan satu pintu, menyederhanakan jenis-jenis perizinan investasi. "Saat ini sudah dirumuskan penyederhaan izin migas dari 69 jenis perizinan menjadi hanya delapan jenis perizinan," Hatta menambahkan.

Dalam paket keempat ini sudah dilaksanakan revisi Peraturan Presiden (Perpres) mengenai daftar negatif investasi yang lebih ramah kepada investor. Langkah selanjutnya adalah mempercepat investasi berbasis agro, seperti CPO, kakao, logam, bauksit, nigel, tembaga dengan memberikan insentif berupa tax holiday dan tax allowance dan percepatan renogoisasi kontrak karya.

Sebelumnya, Hatta menjelaskan latar belakang situasi ekonomi yang membuat pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ini. Dalam beberapa hari terakhir, ujar Hatta, terjadi gejolak di pasar keuangan dan nilai tukar yang dipicu faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, yang dikhawatirkan adalah kebijakan quantitative asing di Amerika Serikat, sedangkan sisi internal adalah memburuknya neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit 4,4 persen dari PDB.

 Editor: Surya